Selasa, 24 Desember 2013

FILSAFAT ILMU-ILMU KEISLAMAN
“Refleksi Filosofis, Ilmu Pengetahuan Dan Pendidikan Dalam Persefektif Islam”
A.     Filsafat Menurut Islam; Telaah Historis dan Persefektif
Dalam sejarah islam, awal mula nama falsa>fah dipakai untuk julukan yang diberikan kepada aktivitas ilmiyah pada akhir abad ke-8 M. yang utamanya mengkaji teks-teks Yunani. Tidak sedikit para ulama yang menolak falsa>fah pada masa itu, khususnya dari para fuqa>ha’, muh}addithu>n dan para ulama sa>laf  lainnya.[1] Hal itu tidak lain karena  adanya pertentangan konsep falsa>fah dengan pandangan Islam sendiri. Namun setelah adanya proses – sebut saja – islamisasi, namafalsa>fah dipahami sebagai istilah umum yang dapat diterima sebagai salah satu cabang pengetahuan dalam Islam.
Asal usul namafalsa>fah pun akhirnya tidak lagi dipermasalahkan, yang jelas falsa>fah dikenal sebagai ilmu tentang Wujud.[2]Bahkan, Ibn Taimiyah yang sebelumnya menolak keras, pada akhirnya menerima falsa>fah, tapi dengan syarat harus berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi.Falsafah yang demikian, ia sebut sebagai al-Falsa>fah al-Shah}ih}ah atau al-Falsa>fah al-Ha>qiqiyyah.[3] Meskipun disisi lain ia tetap saja menolak pemikiran Ibn Sina, al-Farabi dan Ibn Rusyd yang dianggapnya masih bercampur dengan pemikiran Yunani.
Adannya penolakan terhadap filsafat Yunani dan kemudian diterima oleh para ulama, menunjukkan bahwa Islam telah mempunyai konsep filsafat yang bukan berasal dari Yunani. Yang menurut Halter, bukti adanya filsafat identik dengan istilah h}ikmah menunjukkan filsafat sudah ada dalam tradisi intelektual Islam. Alparslan Acikegence menambahkan, konsep-konsep semisal dalam al-Qur’an tentang alam semesta, manusia, penciptaan, ilmu, etika, kebahagiaan dan lain-lainnya adalah konsep-konsep asas bagi spekulasi filosofis dalam memahami realitas dan kebenaran. Semua itu dalam tradisi intelektual Islam tergolong dalam apa yang disebut h}ikmah.[4]Dari sini sangat jelas bahwa dalam Islam tradisi berpikir filosofis ada, dan kesan berbeda dengan tradisi filsafat Yunnani.
Ini diperkuat oleh C.A. Qadir.mengaitkan filsafat Islam dengan filsafat Yunani menurutnya adalah jauh dari benar. Sumber pemikiran para pemikir Muslim yang asli adalah al-Qur’an dan al-Hadith.Yunani hanya memberi dorongan dan membuka jalan untuknya. Fakta bahwa Muslim berhutang pada Yunani adalah sama benarnya dengan fakta bahwa Muslim juga bertentangan dengan beberapa pemikiran filsafat Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia, dan alam semesta misalnya, para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam filsafat Yunani.[5]
Polemik anatara pandangan apakah filsafat dalam islam itu murni warisan yunani kuno ataukah produk islam sendiri, memang jawabanya masih kontra fersi. Pandanagan-pandangan yang paling umum dilontarkan Pertama, dari kalangan mayoritas orientalis adalah, bahwa Filsafat Islam merupakan kelanjutan dari filsafat Yunani kun; ‘It is Greek philosophy in Arabic garb’, demikian kata Renan, Gutas, dan Adamson yang  lebih suka menyebutnya sebagai filsafat berbahasa Arab (Arabic Philosophy). Dibalik pandangan itu terselip rasisme intelektual bahwa filsafat itu murni produk Yunani dan karenanya kaum Muslim sekadar mengambil dan memelihara untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka. Pendapat tersebut mungkin saja ada benarnya bila berpatok pada literatur sejarah filsafat dunia, peran dan kedudukan filsafat Islam seringkali dimarginalkan, atau bahkan diabaikan sama sekali. Mulai dari Hegel sampai Coplestone dan Russell, filsafat Islam hanya dibahas sambil lalu, sebagai jembatan peradaban (Kulturvermittler) dari Zaman Kegelapan ke Zaman Pencerahan.
Pandangan kedua menganggap, filsafat Islam itu reaksi terhadap doktrin-doktrin agama lain yang telah berkembang pada masa lalu. Para pemikir Muslim dituduh telah mencomot dan terpengaruh oleh tradisi Yahudi-Kristen. Pendapat ini diwakili Rahib Maimonides, Yang menurutnya semua yang dilontarkan oleh orang Islam dari golongan Mu‘tazilah maupun Asy‘ariyah mengenai masalah-masalah filsafat berasas pada sejumlah proposisi-proposisi yang diambil dari buku-buku orang Yunani dan Syria yang ditulis untuk menyanggah para filosof dan mematahkan argumen-argumen mereka.[6]
Dua sudut pandang tersebut di atas menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.antara lain oleh Seyyed Hossein Nasr. Menurutnya, Orientalis yang menganut perspektif Greco-Arabic biasanya mengkaji filsafat Islam sebagai barang purbakala atau artifak museum, sehingga pendekatannya melulu historis dan filologis. Di mata orientalis semisal Van den Bergh, Walzer dan Gutas, filsafat Islam itu ibarat sesosok mummi yang hidup antara abad ke-9 hingga ke-12 Masehi. Akibatnya, menurut Nasr, para orientalis itu tidak tahu dan tak peduli akan fakta filsafat Islam sebagai kegiatan intelektual yang terus hidup dari dahulu sampai sekarang, di pusat-pusat keilmuan Dunia Islam.
Yang Ketiga adalah perspektif revisionis yang memandang filsafat Islam itu lahir dari kegiatan intelektual selama berabad-abad semenjak kurun pertama Islam. Bukankah perbincangan tentang kemahakuasaan dan keadilan Tuhan, tentang hakikat kebebasan dan tanggung-jawab manusia merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat, Munculnya kelompok  Khawarij, Syi‘ah,Mu‘tazilah dan lain-lain yang melontarkan pelbagai argumen rasional disamping merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an jelas sekali mendorong berkembangnya pemikiran filsafat dalam Islam. Hingga pada abad-abad berikutnya berkembang pada seputar kedudukan logika,  masalah atom, ruang hampa, masa, dan yang tak terhingga dalam hubungannya dengan kewujudan Tuhan serta ke-aza>li-an dan keabadian alam semesta.
Pandangan revisionis ini diwakili, antara lain oleh M.M. Sharif, Oliver Leaman, dan Alparslan Açıkgenç.Filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan berhenti dengan kematian Ibnu Rusyd.Sebagai produk dialektika unsur-unsur internal Umat Islam itu sendiri, bangunan filsafat Islam dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci al-Qur’an yang menduduki posisi sentral dalam kehidupan spiritual-intelektual kaum Muslim. Bagi Oliver Leaman, filsafat Islam merupakan nama generik keseluruhan pemikiran yang lahir dan berkembang dalam lingkup peradaban Islam, terlepas apakah mereka yang punya andil berbangsa Arab ataupun non-Arab, Muslim ataupun non-Muslim, hidup di Timur Tengah ataupun bukan, berbahasa Arab, Parsi, Ibrani, Turki, ataupun Melayu sebagai mediumnya, sejak zaman dahulu sampai sekarang ini.[7] Leaman mencermati adanya cara pandang Islami yang membingkai itu semua sehingga ia menambahkan, cakupan filsafat Islam itu luas dan kaya.
Tanpa menafikan adanya hubungan antara filsasat Islam dan Yunani, MM. Sharif mengibaratkan pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain, sedangkan pemikiran Yunani sebagai sulaman. Meskipun sulaman itu dari emas, kita hendaknya jangan menganggap sulaman itu kain.Ini artinya, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, meskipun di dalam filsafat Islam terdapat unsur-unsur Yunani, tetapi filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani.[8]
Namun Pendapat lain mengatakan, Perjalanan filsafat Islam dimulai secara resmi di abad ke-2 dan ke-3 H. bersamaan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya, sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri. Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi (185-260 H). pendapat ini lebih dekat pandangannya ke yunanisme. Seolah-olah filsafat itu muncul dalam islam karna melalui proses penerjemahan filsafat yunani.
Namun terlepas dari adanya perbedaan penjelasan mengenai filasafat islam itu murni hasil karya yunani atau tidak, Menurut Peters, sejarah telah mencatat,  karya-karaya aristoteles telah berhasil dihimpun kedalam satu korpus madzhab dan ditambah dengan teks-teks neoplatonik leh filosof islam semenjak abad ke-10 M. menurut pendapat ini, al-Farabi yang paling awal menjadi filosof muslim.[9] Meskipun Pendapat Peters di bantah oleh Ahmad Hanafi, menurutnya al-Kindi lah yang pertama kali menjuluki filsafat kedalam islam.[10]diperkuat oleh Hasyimsyah Nasution, bahwa al-Kindi adalah filosof muslim yang pertama meberikan istilah filsafat islam.[11] .
Perbedaan pandangan pandangan mengenai sejarah pertama kali munculnya filsafat tidak hanya terjadi pada letak historisnya, tetapi penamaannyapun masih diperslisihkan eksistensinya.apakah filsafat itu Islam atau Arab. Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang hingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawanpun banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis menyebut mereka kaum filosof Islam, ada pula yang menamakan bahwa mereka merupakan para filosof beragama Islam, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan Para Hikmah Islam (Fala>sifatul-Isla>m, atau Al-fala>sifatul Isla>miyyin atau Hukuma’ul-Isla>m), mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan,
Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam”.[12]

Courban, seorang orientalis Perancis ahli tentang Islam dan Iran mempertahankan istilah Filsafat Islam. Ia mengatakan :
“Jika kita berpegang pada penamaan Filsafat Arab, maka pemikiran itu menjadi sempit bahkan keliru. Bagaimana kita bisa menempatkan pemikiran Nashir Khasru, misalnya atau pemikiran Afdhul Kasyani dan para ahli pikir Persia (Islam) lainnya yang hidup pada abad ke-11 hingga abad ke-13, mereka tidak menuliskan pemikirannya kecuali dalam bahasa Persia. Jika sebutan ‘ Arab ‘ dalam zaman kita dewasa ini mencakup pengertian politik dan kebangsaan dapat dibenarkan, pengertian itu tidak bisa membawa kita ke pangkalan ilmu atau sastra. Lagipula saya sendiri menolak mengkaitkan pengertian keagamaan dengan tanah air atau kebangsaan tertentu. Karena itu istilah yang paling tepat dan benar ialah Filsafat Dalam Islam atau Filsafat Islam atau Filsafat di Negeri-NegeriIslam , kalau penamaan yang terakhir disebutkan terasa terlampau panjang dan dianggap kurang baik untuk dijadikan istilah, saya tetap menolak memberikan predikat ‘ muslimah ‘ (musulman) pada filsafat tersebut. Sebab penamaan itu masih tetap mencakup keyakinan pribadi filosof yang bersangkutan, sedang filsafat islam mencakup segala hal-akhwal”.[13]

Demikian juga pendapat Dr. Ibrahim Madzakur dengan pernyataan bahwa penamaan filsafat Arab tidak berarti pemikiran filsafat itu hasil karya suatu ras atau suatu bangsa. Ia lebih suka menyebut Filsafat Islam, karena Islam bukan hanya aqidah atau keyakinan semata-mata, melainkan juga peradaban dan sikap peradaban mencakup segi-segi kehidupan moral, material, pemikiran dan perasaan. Jadi Filsafat Islam ialah segala studi filsafat yang dilukis di dalam dunia Islam, baik penulisnya orang Muslim, Nasrani ataupun Yahudi.[14]
Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimana pun hidup dan suburnya pemikiran tersebut (filsafat), adalah di bawah naungan Islam, dan kebanyakan karyanya ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan  Filsafat Arab  ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil umat Arab semata-mata tidak benar, sebab kenyataan menunjukan bahwa Islam telah mempersatukan berbagai umat dan kesemuanya telah ikut serta dalam memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut. Sedangkan kalau yang dimaksud dengan Filsafat Islam tersebut adalah hasil pemikiran kaum Muslimin semata-mata juga berlawanan dengan sejarah, karena mereka pertama-tama berguru pada aliran Nestorius dan Jacobitas dari golongan Masehi, Yahudi dan penganut agama Sabi’ah, dan kegiatan mereka dalam berilmu dan berfilsafat selalu berhubungan dengan orang-orang Masehi dan Yahudi yang ada pada masanya.
Namun pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum Muslimin lebih tepat disebut Filsafat Islam, pengingat Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga kebudayaan. Pemikiran filsafat sudah barang tentu terpengaruh oleh kebudayaan Islam tersebut, meskipun pemikiran tersebut adalah Islam baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu kesatuan. Dan dalam pemakaian istilah Filsafat Islam lebih banyak dipahami dalam buku-buku filsafat, seperti an-Na>jat dan as-Syifa> dari Ibn Sina, dalam buku al-Mila>l wan-Niha>l dari as-Syihrisaani, dalam buku Akhba>r al-Huku>ma dari al-Qafi dan Muqadimah Ibni Khaldun.[15]
Dengan demikian, filsafat yang muncul dalam kehidupan Islam yang banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab adalah Filsafat Islam, karena kegiatan pemikirannya bercorak Islam.Islam disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran.Filsafat disebut Islami bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keislaman saja.Hakekat Filsafat Islam ialah akal dan al-Quran.Filsafat Islam tidak mungkin tanpa akaldan al-Quran.Akal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan al-Quran juga menjadi ciri keislamannya.Tidak dapat ditinggalkannya al-Quran dalam filsafat Islam adalah lebih bersifat spiritual, sehingga al-Quran tidak membatasi akal bekerja, akal tetap bekerja dengan otonomi penuh,[16] Namun tetap dilandasi Al-Qur’an.
Akal dan al-Quran di sini tidak dapat dipahami secara struktural, karena jika akal dan al-Quran dipahami begitu, menyiratkan adanya hubungan atas bawah yang bersifat subordinatif dan reduktif.maka antara satu dengan lainnya menjadi saling mengatas-bawahi, baik akal mengatasi al-Quran atau sebaliknya al-Quran mengatasi akal. Jika al-Quran mengatasi akal maka akal menjadi kehilangan peran sebagai subjek filsafat yang menuntut otonomi penuh. Sebaliknya jika akal mengatasi al-Quran, terbayang di sana bahwa aktivitas kefilsafatan Islam menjadi sempit karena objeknya hanya al-Quran.
Oleh karena itu, Filsafat Islam adalah akal dan al-Quran dalam hubungan yang bersifat dialektis.Akal dengan otonomi penuh bekerja dengan semangat Qur’anik. Akal sebagai subjek, dan sebagai subjek ia mempunyai komitmen, komitmen itu adalah wawasan moralitas yang bersumber pada al-Quran. Akal sebagai subjek berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan al-Quran memberikan wawasan moralitas atas pemecahan masalah yang diambil oleh akal.Hubungan dialektika antara akal dan al-Quran bersifat fungsional.[17]
Secara umum, Filsafat Islam berbeda dengan teologi (ilmu kalam) dari sisi metodologinya. Filsafat mendasarkan diri pada metode burha>ni (kontekstual), sementara teologi pada jadalli. Filsafat Islam berada pada semangat inkorporasi atau mendamaikan antara akal dengan wahyu.Gabungan antara pemikiran liberal dan kepercayaan religius.Secara ontologis filsafat Islam menyakini adanya realitas hierarkis yang terbentang dari alam metafisik hingga fisik. Secara epistemologis filsafat Islam menyakini akal, hati, indra dan teks suci sebagai sumber pengetahuan yang valid
Jadi jelaslah apa yang dikatakan al-Akhwani, baahwa Filsafat Islam adalah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.

B.     Konsepsi Ilmu Pengetahuan Menurut Tradisi Pemikiran Islam
Dalam kajian filsafat, ada tiga unsur utama yang tidak bisa dipisahkan, yaitu epistemologi, ontologi dan aksiologi. Ketiganya saling berkaitan satu sama lain, dan saling menetukan arah pemikiran filsafat. umumya dalam kajian filsafat yang di utamakan salah satu dari ketiganya adalah unsur epistemologi. Bukan maksud menafikan yang lain. Tetapi sepanjang mengartikan filsafat sebagai proses mencari pengetahuan, epistemologi menjadi dasar awal yang dipakai.
Membicarakan episteme (sistem pengetahuan), seperti yang telah dibahas sebelumnya, mau tidak mau, secara fundamental harus bersentuhan dengan akal atau nalar (‘aql).[19] secara umum, al-Jabiri mengkalsifikasi tipoogi nalar mejadi dua bentuk, dengan mengikuti persefektif Andre Lalenda, yaitu nalar pembentuk atau aktif (al-‘aqlu al-mukawwin) dan nalar terbentuk atau dominan (al-‘aqlu al-mukawwan). Nalar aktif merupakan naluri yang dengannya manusia mampu menarik asas-asas umum, berdasar pemahamannya terhadap hubungan segala sesuatu.Sedangkan nalar dominan adalah sejumlah asas dan akidah yang dijadikan pegangan dalam argumentasi (istidla>l).[20] Jika yang pertama bersifat universal, hingga disebut dengan akal niversal (al-‘aqlu al-kauni), maka yang kedua tidak universal, sebab ia menjadi sistem kaidah yang dibakukan dan diterima dalam era tertentu.
Kadang kala, seseorang mampu melakukan penalaran terhadap sesuatu, tetapi sulit untuk menyentuh setandar kebenaran.Karena tidak mampu menyeimbangkan (singkronisasi) antra pernyataan dengan kondisi realitas yang sebenarnya.[21] Tujuan utama adanya akal yang dimiliki manusia adalah untuk berpikir, sejauh ia berpikir pada sesuatu yang diaggapnya benar dan salah. Menurut Endang Syaifuddin Anshari, Manusia seyogyanya adalah mahluk pencari kebenaran. Untuk mencapai sebuah kebanaran harus memliki kompoonen-komponen yang menyertainya. Komponen-komponen itu meliputi ilmu, filsafat dan agama (dalam hal ini islam).[22] Ketiga komponen itu jika diterapkan bersama, niscaya akan memnghasilkan suatu kesimpulan yang mendekati kebenaran. oleh karena itu, islam sangat menekankan tiga aspek tersebut sebagai dasar rujukan untuk memperoleh pengetahuan.
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam , hal ini terlihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulya disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu.
sesungguhnya yang takut kepada allah diantara hamba –hambanya hanyaklah ulama (orang berilmu). (QS 35:28)[23]

Disamping ayat-ayat Al Qur’An, banyak juga hadith yang memberikan dorongan kuat untuk menuntut Ilmu. Antara lain hadit yang diriwayatkan Imam Baihaqi,

Carilah ilmu walai sampai ke negri Cina ,karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagisetuap muslim”[24]

Beberapa ayat dan hadith tentang anjuran mencari ilmu menunjukkan betapa islam sangat memperhatikan sekali berkembangnya ilmu pengetahuan. Diaspek yang lain, Filsafat islam mengakaji dari berbagai hal didalamnya, termasuk diantaranya tentang ketuhanan, alam gaib, serta realitas yang ada di dunia ini. Yang kesemuanya dibawah lingkaran wahyu (Al-Qur’an) dan sunnah (hadith).[25]Posisi akal sangat dominan perannya sebagai sarana memperoleh penegtahuan, tetapi tetap dalam batah-batas koridor agama.
Dalam tradisi pengetahuan islam, Epistemologi yang diapakai guna mendapatkan sebuah pengetahuan meliputi tiga aspek berbeda. Yaitu epistemologi baya>ni (tekstual) ‘irfa>ni (intuitif), dan burha>ni (kontekstual), [26] ketiganya tersebut, konsep yang diterapkan mempunyai ciri has tersendiri dalam memperoleh pengethaun.

1.         Epistemology Baya>ni.
Dalam sejarahyna, Munculnya kodifikasi tadwin (kodifiasai massif ilmu pngetahuan)[27] disinyalir sebagai babak baru transformasi episteme bayani dari wacana kebahasaan menuju wacana diskursif. Periode tadwin ini telah mengantarkan budaya arab kebudaya tulis (al-kita>bah). Dan penalaran (ad-dira>yah). Diaman islam yang sebelumnya berada dalam budaya oral atau lisan (al-mush}a>fah}ah) dan transmisi-replektif (ar-riwa>yah).[28] Lebih jauh, epistemology baya>ni telah menjadai semacam persefektif (ru’yah) dan sistem (manhaj) yang melandasi pemikiran sistematis dalam menginterprestasi wacana (fi tafsiri al-khitab) dan memproduksi wacana (fi intaj al-khitab).[29]
Menurut Mahmud Arif, mengutip dari pendapatnya Ibn Manzur, Secara leksikal, terma baya>n mengandung beragam arti, diantaranya (1) menimbang (al-was}l), (2) keterpilihan (al-fas}l), (3) jelas dan terang (az}-z}ubu>r wat al-wud}u>h), (4) kemampuan membuat terang dan jelas.[30] Berdasarkan keragaman arti tersebut,  Mahmud arif menyimpulkan, makna generic dari term baya>ni adalah keterpilihan dan kejelasan. Yang berwujud pada sebuah persefektif dan metode.[31]hal ini, epistemologi baya>ni menjadi sebuah sitem pemikiran yang tidah hanya sekedar mencakup arti tindakan memahamkan, tetapi juga segala sesuatu yang mendasri tindakan memahami.
Ciri umum dari pemikiran baya>ni adalah menempatkan ilmu-ilmu arab islam sebagai dasar pengetahuan istidla>li murnai. Yaitu nahwu, balaghoh, fiqh  dankalam. Dan ilmu-ilmu inilah yang menjadi lokomutif bagi formulasi keilmuan naqliyah murni dan keilmuan naqliyah-aqliyah.[32]Otoritas teks yang sangat kuat juga menjadi perioritas utama dalam mencapai pengetahuan. Salah satu tokoh yang terkenal epistemolog baya>ni ini adalah imam Asy-Syafi’i, ia menjadi pioneer utama baya>niun yang menteorisasi episteme bayani sebagaimana terformulasikan dalam pemikiran ushul fiqihnya. Bahkan banyak kalangan terutama George A. Maqdisi menilai, Asy-Syafi’i adalah pahlawan pertama aliran tradisionalisme bayani dan memiliki pengaruh besar di belantika pemikiran dunia islam sejajar dengan dengan pengaruh aristoteles dalam dunia pemikiran yunani kuno.[33] Dengan pemikiran fundamentalnnya tentang empat perinsip dasar pengetahuan islam, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. As-syafi’I juga merumuskan kerangka pikir yang menjadi basis  penting epistemologi baya>ni Sekurang-kurang terdapat dua aspek pokok yeng terkandung dlam pemikirannya, yaitu aspek hukum (legal) dan aspek teologi.[34]

2.         Epistemology ‘Irfa>ni
Salah satu determinan historis budaya dan tradisi pemikiran arab islam adalah warisan klasik. Dalam konteks keilmuan, produk determinan historis ini bisa dikenal denagn ‘ulu>mu al-awa>’il (warisan keilmuan generasi terdahulu). Begitu banyak sumber-sumber warisan klasik yang telah memebri kontribusi besar pemekaran budaya dan tradisi pemikiran arab islam.[35] Hanya saja sumber-sumber warisan klasik yang disinyalir telah menebar benih tradisi hermes.yang didalamnya bisa dekleompokkan menjadi tiga arus utama, yaitu (1) system kepercayaan zoroster dan manna yang banyak dianut bangsa persi; (2)  aliran as-s}a>bi’ah; (3) aliran-aliran filusuf. Dari antara isu sentral yang digulirkan oleh tradisi “hermes”[36] dan budaya Persia adalah paham dualitas ekstrim antara tuhan dan materi, antara kebaikan (cahaya) dan keburukan (kegelapan).
Paham keterkaitan antara dunia ‘atas’ dan dunia ‘bawah’, begitu juga paham ‘penyucian jiwa’ dan asal muasl jiwa dari anasir ketuhanan, paham ilmu dan agama, serta orientasi kehidupan akhirat dengan kepekaan terhadap keindahan bumi dengan citra keindahan langit, telah membawa perubahan mendasar terhadap struktur nalar pemikiran islam (arab-islam). Hingga kemudian meunculkan paham gnostik (al-‘aql al-mustaqil) yang dikenal dengan konsep metode ‘irfani.[37]
Terma al-‘irfa>ni dalam kata-kata bahasa arab mengandung arti pengetahuan (al-ma’rifah al-‘ilmu). Terma tersebut popular dekalangan untuk menunjukkan arti “pengetahuan termulia yang di hujumkan kelubuk hati melalui carakha>sf (penyigkapan mata batin) atau ilha>m.[38] Para penagnut nalar gnostik (metode ‘irfa>ni) beranggapan bahwa pengetahuan yang ia miliki sebagai bentuk ilham atau iluminasi setelah bersatu dengan daya-daya samawi yang tersembunyi. Ia menambahkan, bahwa ada perbedaan antara pengetahuan yang diperoleh melalui indra, rasio, atau keduanya dengan pengetahuan yang diperoleh melalui khu>sf. ia memandang bahwa jenis pengetahuan yang dipeoroleh lebih tinggi dan mulia.
Aliran metode epistemologi ‘irfa>ni dalam dunia islam umumnya merupakan kalangan tasawuf. yang kemudian bermetamorfosis menjadi taswuf sunni dan taswuf falsafai.[39] Tasawuf sunni pemikirannya cendrung moderat, namun tetap berpegang teguh pada koridor syari’at dan dominan ciri-ciri moralnya. Sedangkan tasawuf falsafi, konsep dan praktek sufistiknya banyak dipengaruhi oleh aliran mistik-filosofis.Dan acapkali menyimpang dari tuntunan syari’at.

3.         Epistemologi burha>ni
Secara historis, menurut Mahmud Arif, Masuknya pemikiran logika dan filsafat Aristotelian ke dalam budaya dan tradisi pemikiran islam dinilai berlangsung lebih belakangan bersamaan dengan periode kodifikasi (tadwin). Konon, dibalik gerakan tadwin terselubung maksud dari khalifah Al-Makmun (813-835 M.) untuk mengembangkan wacana baru yang bisa meng-counter ekspansi pengaruh gerakan-gerakan intelektual-politis yang dianggap akan menagncam kelangsungan kekuasaanya.[40]
Strategi politik Al-Makmun dalam mengatasi memanasnya hubungan antara ‘abba>siyyu>n dan ‘ala>wiyu>n ini telah pada glorifikasi pemikiran Aristotelian,  yakni penegakan nalar universal (al-‘aql al-kauni), yang nayata-nayata bersebrangan dengan nalar gnostik yang banyak didukung oleh kalangan ‘alawiyun (khususnya sy’ah isma’iliyah). Hal ini merampabah pada pergeseran format rasionalisasi keagamaan, Politik dan budaya, yang secara khusus ilmu pengetahuan.
Secara bahasa, al-burha>ni mempunyai arti argumen yang tegas dan jelas. Kemudian jika diperluas, burha>ni merupakan terminologi yang diapakai dalam sebuah metode ilmu pengetahuan untuk menunjukkan arti proses penalaran yang menetapkan benar tidaknya suatu proposisi melalui cara deduksi.[41]kemudian ciri umum dari metode ini yaitu memadukan antara persefektif pemikiran dengan persefektif realitas tertentu. Secara geneologis berhubungan erat dengan tradisi pemikiran Aristotelian.
Sstem epistimologi burha>ni bertumpu sepenuhya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, baik berupa indra, pengalaman, maupun daya rasional, dalam upaya memperoleh pengetahuan tentang semesta. Secara solidasi, sistemik dan postulatif.[42] Disamping itu, terdapat tiga perinsip penting yang melandasi konstruksi epistimologi burha>ni, yaitu (1) rasionalisme (al-aqliniyah), (2) kausalitas (as-saba>biyah),  dan (3) esensialisme (al-mahiyah).[43]Yang dikembangkan lewat penggunaan metode utama yaitu, deduksi dan induksi.sedangkan pengetahuan adakalanya diperoleh melalui indra dan juga adakalanya melalui rasio.
Epistemologi burha>ni dikenal oleh orang islam melalu penerjemahan filsaftnya aristoteles yang dikenal dengan metode demonstratif. Dalam penuturan aristoteles, Yang dimaksud dengan metode demostratif adalah silogisme ilmiah, yakni silogisme yang apabila yang apabila seseorang memiliknya maka ia akan memiliki pengetahuan. Menurutnya silogisme merupakan seperangkat metode berpikir yang dengannya seseorang dapat menyimpulkan pengetahuan baru dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya (kesimpulan dari berbagai premis), terlepas pengetahuan itu benar atau salah dan sesuan dengan relitas atau tidak.
Metode dasar yang diambil dalam metode ini adalah silogisme, yakni mengambil kesimpulan dari premis mayor dan minor yang keduanya mengandung unsur yang sama, dengan sebutan middle term (al-ha>dd al-ausath). Sebuah silogisme baru dikatakan demonstratif apabila premis-premisnya didasarkan bukan pada opini, melainkan pda kebenaran yang telah teruji  atau disebut kebenaran utama (primary truth), Karena apabila premis-premis benar maka akan menghasilkan kesimpulan yang benar. Dalam sejarahnya aliran episteme ini telah melahirakan beberapa nama besar filusuf muslim, seprti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan lain-lain.

C.     Aktualisasi Filsafat Menuju Peradaban Keilmuan; Tinjawan Terhadap pengembangan ilmu-ilmu keislaman dan Lembaga Pendidikan Islam.
Pendidikanislampada hakikatnya dalam teori dan peraktek selalu mengalami perkembanagn, hal ini disebabkan karena pendidikan islam secara teoritik memiliki sumber dasar dan rujukan yang tidak hanya berasal dari nalar (akal), melinkan juga wahyu.[44]Kombinasi nalar dengan wahyu ini adalah ideal, karena memadukan antara potensi akal manusia dengan tunutunan firman Allah Swt. Terkait dengan masalah pendidikan. Kombinasi ini menjadi ciri khas pendidikan islam yang tdiak dimilki oleh konsep pendidikan pada umumnya yang hanya mengandalkan kekuatan akal dan budaya manusia.
Harusnya dengan keterjalinan antara dua sumber akal dan wahyu tersebut dapat mengahsilkan konsep pemikiran islam yang sembpurna. Hal itu dibuktikan secara historis melalui upaya penggabungan konsep dan pemikiran pendidikan islam yang berjalan dimasa lalu dengan kebanyakan karya tulis para ulama tentang pendidikan yang sebagian besar masih bisa diakses hingga kini. Hanya saja, teori-teori pendidikn mereka seakan tenggelam karena masuknya trema-terma baru yang muncul belakangan ini, terutama yang berasal dari refrensi barat.Sehingga memunculkan kesan deolah-olah yang memunculkan teori pendidikan pertama kali adalah seluruhnya orang barat.
Pada saat yang sama, pemikiran pendidikan islam klasik masih dipahami dalam kontek klasik (back to basic), tidak ada proses aktualisasi kekinian, maka tidak berlibahan, jika dikatakan bahwa sampai saat ini tradisi ilmiah dan hazanah intelektul umat islam masih mengalami kemunduran dan terbelakang, bila dibandigkan kondisi keemasan islam dimasa lalu.
Kondisi tersebut membuka problem sekaligus tantangan bagi pendidikan islam kedepan, agar dilakukan rekontekstualisasi dan rekonseptualisasi pendidikan yang relevan dengan kebutuhan saat ini. Bila tidak dilakukan, maka hazanah intelketual islam dibidang pendidikan akan semakin ketinggalan zaman dan menjadai setagnan.
Tafsir QS al-Dzariyat (51) sering digunakan untuk menunjukkan bahwa tujuan umum pendidikan islam adalah untuk membentuk manusia yang beribadah, karena “Aku (Tuhan) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-ku”.[45]Sepatutnya ayat tentang ibadah ini dipahami secara konfrehensip, tidak dipersempit maknanya. Lazimnya ibadah dimaknai sebagai pemenuhan proses penghambaan atau pengabdian seorang mahluk kepada sang Halik melalui berbagai macam ritual yang umunya menjadi ajaran islam.[46] Pendidikan juga merupakan proses yang seharusnya tidak dipisahkan dari kategori ibadah. Karena bagaimanapun juga tanpa pendidikan, seorang tidak akan mampu mencapai ibadah yang hakiki.

1.      Problem Epistemologi
Persoalan yang terjadi dalam dunia pendidikan islam telah berjalan cukup lama. Terutama sekali, semenjak madrash Nizha>miyah mempopulerkan ilmu-ilmu agama dan mengesampingkan logika dan filsafat.[47]Mengakibatkan terjadinya pengesampingan ‘ulu>mual-diniyah dengan ulu>mual-aqliyah.Terlebih lagi menuntut ilmu agama itu adalah fardhu ‘ain sedangkan menuntut ilmu-imu non-agama merupakan fardhu kifa>yah.Hal ini menimbulkan suatu keyakinan, bahwa mempelajari agama sebagai kewajiban seraya mengabaikan pentingnya mempelajari imu-ilmu non-agama.[48] Akibat pola pikir pendidikan yang dekotomis ini, berimplikasi pada sebuah disharmoni relasi antara ayat-ayat ilahiyah dengan ayat-ayat kauniyah, antara iman dengan ilmu, antara ilmu dengan amal, antara dimensi duniawi dengan ukhra>wi, dan dimensi ketuhanan (teosentres) dengan  kemanusiaan (antroposentris).
Selain itu, persolan yang membudaya dan sulit dihilangkan dalam tradisis keilmuan pendidikan islam saat ini adalah pola pikir yang menjadi tendensi normatif dan deduktif.[49]terlihat ketika praktek pendidikan islam yang saat ini lebih mengarah pada pola mengajar (teaching, ta’lim) dari pada sistem mendidik (education, tarbiyah, dan ta’dib). Kedua sitem mtersebut jelas-jelas perbedaannya sangat besar. Aktifitas mengajar dibatasi oleh ruang kelas dan peranan guru yang amat besar, sedangkan mendidik tidak harus berpatokan pada tersebut.
Bergesernya praktek pendidikan menjadi identik dengan mengajar ini juga menimbulakan penekanan yang tidak seimbang pada aspek pengetahuan. Seakan proses pembelajaran hanya memperioritaskan pada kemampuan kognitf saja ktimbang  kemampuan psikomotorik dan afektifnya. Peserta didik menirima pengetahuan hanya berdasar pada sistem transfer of knowledge(penyampaian pengetahuan) dari orang yang dipandang lebih tahu (guru). Sementara  dimensi sikap dan (afektif) dan keterampilan (psikomotorik) kurang diperhatikan.[50] Inilah yang kemudian pendidikan islam saat ini berjalan monoton. Sehingga asumsi yang dicapai, lulus sekolah dapat mendapatkan ijazah dan menerima nilai yang baik.

2.      Relefansi burha>nidalam membangun paradigma keilmuan; implementasi pada sistem pendidikan pola integrasi-interkoneksi
Pendidikan pada dasarnya berkenaan dengan keyakinan akan eksistensi pengembangan sifat-sifat hakiki kemanusiaan yang sarat dengan nuansa moral. Peranan pendidikan sebagai sarana pengembangan kemanusiaan kea arah lebih baik, selalu terakumulasi kedalam tujuan yang di inginkan.baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, Sesuai dengan kebutuhan seseorang atau sekelompok orang yang terlibat didalamnya. Dapat dikatakan, bahwa perubahan ka arah lebih baik itu merupakan esensi dari pendidikan itu sendiri.[51] Sehingga jika tanpa ada perubahan, menurut tujuan-tujuan pendidikan yang telah di tetapkan, sama artinya tidak ada proses kependidikan.
Dalam konteks pendidikan islam, penciptaan manusia ka arah perubahan yang lebih baik juga menjadi tujuannya. Upaya sadar yang dilakukan untuk menjadikan manusia sebagai manusia utuh (humanis) adalah tugas utama pendidikan islam. Pendidkan islam sangat menekankan dimensi moral yang selalu merujuk pada ajaran agama. Jika suatu saat, terjadi transformasi sosial akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka disitu peranan pendidikan islam menjadi sangat kuat. sebab, tugas utama pendidikan islam dalam meng-rekontruksi sosial, menjadi tanggung jawab utama yang harus dipenuhi.
Tetapi, Seharusnya Pendidikan islam saat ini tidak hanya bergerak dalam tataran dimensi sosial menyangkut moral saja, namun perlu juga berorientasi pada arah pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan secara umum. Agar mampu berinteraksi dengan perkembangan jaman yang semakin maju.pilar utama yang menjadi landasan spiritual umat islam, selalu menjadi sepirit agar pendidikan islam saat ini dapat bersaing dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan (secience).[52] Untuk itu, untuk membangun kembali dari keterlelapan yang panjang, pendidikan islam perlu merekonstruksi kembali sitem dan motode yang dipakai, Seperti halnya kemajuan islam yang pernah dirasakan di jaman dahulu.
Meminjam bahasanya Abdurrahman Assegaf, sebagai uapaya untuk mendatangkan kembali kemajuan dan peradaban islam, maka perlu adanya internalisasi motodelogis yang bersifat Hadha>ri (peradaban) terhadap keilmuan pendidikan islam.[53] Salah satunya metode burha>ni atau lebih gampangnya disebut metode demonstratif, metode ini merupakan aktifitas kognitif yang berbentuk iferensi rasional. Yaitu penggalian ilmu pengetahuan secara rasional, redikal serta sistematis dan konfrehensif.[54] Dari beberapa metodelogi yang dikembangkan ilmu pengethuan islam jaman klasik, metode burha>ni  dipandang paling akurat jika dijadikan sebagai sistem paradigma dan metodelogi ilmiah dalam pendidikan islam saat ini. Selain metode ini telah meimiliki sejarah panjang dimasa keemasan islam, perluanya aktualisasi metode burha>ni saat ini lebih disebabkan problematika pendidikan islam kini kian hari kian paradoksal.
Burha>ni  merupakan metode logika atau penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan teori ilmiah dan filosofis dengan memerhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah.[55]Seharusnya, menurut Menurut Amin Abdullah, adanya penegtahuan umum yang meliputi bidang-bidang ilmu pengetahuan terpisah seperti biologi, fisika, sosilogi, geografi, matematika, agama dan lain sebaginya,[56] merupakan suatu bidang yang perlu diakumulasikan secara integratif dan keterkaitan. Sehingga mampu menghasilkan suatu kesimpulan ilmiah yang bersifat burha>ni.
Apa yang dikatakan aristoteles, tentang pencarian penyebab-penyebab objek yang diselididiki juga menjadi tugas ilmu pengetahuan umumnya pendidikan islam saat ini. penyebab tersebut terdiri empat macam yang semuanya harus disebut, yaitu Prtama, penyebab efisien (efficient cause/fa>’il), adalah faktor yang menjalankan kejadian. Kedua, peneyabab final (final cause/gha>yah), yaitu tujuan yang menjadi arah kejadian.Ketiga, penyebab material(material cause/madah), ini menjadi bahan dar mana benda dibuat. Dan yan keempat, penyebab formal (formal cause/s}urah), yaitu, merupakan bentuk yang menyusun bahan.[57]Dengan kempat tersebut, secara lengkap suatu peristiwa ilmu pengetahuan dapat dijelskan dengan hasil ilmiah.
Paradigama pendidikan saat ini menggambarkan, seolah-olah ilmu pengetahuan umun secara tegas sudah terpisah dengan ilmu pengetahuan agama.Jika ilmu pengetahuan umum adalah produk hasil dari ilmuan-ilmua barat, dan ilmu pengetahuan agama merupakan produk hasil ajaran agama.Tentunya pandangan dekotomis ini sangat bertentangan dengan sejarah perjalananya ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan demikian, untuk menyeimbangkan kembali persepsi dekotomis antara ilmu pengetahuan agama dan umum, perlua danya integrasi-interkonektif yang bersifat burha>ni. Karena, Jika semuanya sudah merujuk pada konsep pengembangan tersebut, tentu ini menjadi dinamika baru, untuk  membangun kembali hadha>ri (peradaban) islam yang sudah lama terlelep.

D.     Penutup
Hakiktanya, ilmu pengatahuan dalam islam tidak bisa dipisahkan dari filasafat. Terlepas adanya persepsi filsafat itu yunani (hellenisme) atau islam murni. Karena kenyataanya, konsep filsafat dalam islam sedikit ada persamaan metode dengan yunani. tetapi disisi lain, islam memiliki konsep sendiri dimana kerangka konseptualnya sangat berbeda dengan yunanian. Sejatinya, yang membedakan corak pengetahuan islam dengan yang lain adalah, dimensi teologis (wahyu) yang selalu menjadi acuan dan sumber utama filsafat islam.
Meskipun filsafat islam telah diakui keberadaannnya, Namun sebagian ada pula yang menolaknya. Penolakan ini tidak lepas dari doktrin dan pandangan yang dimiliki. Apakah segala pengetahuan dalam islam seluruhnya harus filosofis atau tidak. Tentunya, Ini menimbulkan suatu dinamika pandangan yang berbeda, dan berdampak pada pola sistem pengetahuan (epistem) dalam islam itu sendiri. Pandanagn yang mengakui sistem penbgetahuan diperoleh melalui sistematika filosofis berhujung pada adanya suatu konsep yang dinamkan burha>ni. Pandanagn ini mengatakan bahwa pengetahuan bisa diperoleh melalui akal dengan cara sistematis, redikal, konfrehensif dan berpatokan pada Al-Qur’an dan hadith.
Sementara pandangan yang mengakui bahwa pengetahun bisa ditempuh dengan jalan penyucian jiwa dan penyatuan terhadap sifat-sifat ketuahanan, sebagian besar dikumandangkan oleh kelompok tasawuf yang mengakui konsep metodeogi ‘irfa>ni. ia mengatakan bahwa pengetahuan bisa diperoleh melalui ilha>m dengan cara zu>hu>d dan menyatukan diri terhadap tuhan. Adapun Kelompok yang mayoritas di dominasi oleh kaum tradisional, juga memiliki pandangan berbeda dalam memperoleh pengetahuan.Ia lebih memperioritaskan teks guna menemukan sebuah interpretasi pengetahuan. Penempatan ilmu-ilmu arab dalam membangun pengetahuan menjadi tradisi yang kian berkembang, Sehingga memunculkan sebuah motodelogi baya>ni dalam diskursus yang dikembangkan.
Beberapa konsep pengetahuan tersebut berhujung pula pada sebuah implikasi paradigma pendidikan islam saat ini, khususnya pendidikan islam di indonesia.  utamanya metodelogi baya>ni yang menjadi basis utama kaum tradisional. Terkesan normatifisme tekstual sangat dominan, sehingga terjadinya paradoksi antara perkembangan pengetahuan pendidikan islam dengan pengetahuan umum sangat kuat. Maka, menjadi hal penting jika dilakukan rekonsntrukturalisasi dan rekonseptualisasi ideologi pendidikan yang lebih bersifat demonstratif (burha>ni), Guna membangun kembali hazanah peradaban ilmu pengethuan islam (hadha>ri) kedepan yang lebih relefan.


BIBBLIOGRAFI

Abdullah, Amin, Pengantar, Islamic studys; Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta, Suka Pers, 2007)
AgamaR.I,,Departemen,Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta, Pentafsir al-Qur’an, 1971)
Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1988)
A. Maqdisi, George,Cita Humanism Islam,(Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2005)
A. Maqdisi, George, The Rises Of Humanism In Classical Islam And The Christian West; With Special Reference To Scholastism, (Edinburgh, Edinburgh University Pers, 1990)
Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta, LKIS, 2008)
Assegaf, Abd. Rahman,“Membangun Format Pendidikan Islam Di Era Globalisasi” Dalam Pendidikan Islam Dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta, Al-Ruzz, 2004)
Asy-‘Arie (al), Musa, Filsafat Islam; Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis, Perspektif, (Yogyakarta, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992
Bertens, K.,Sejarah Filsafat Islam, (Yogyakarta, Kanisius, 1999)
Bugir, Haidar,Buku Saku Tasawuf, (bandung, Mizan, 2005)
C.A.,Qadir,  Philosophy and Science in the Islamic World, (London, Routledge, 1988)
Fahmy Zarkasyi, Hamid, “Framework Kajian Orientalis dalam Filsafat Islam”, Jurnal(Jakarta, ISLAMIA, 2005)
Hanafi, Ahmad,Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996)
Hidayat, Komaruddin,Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutic (Jakarta, Paramadinan, 1996)
Iraqi (Al), M. Athif,An-Naz’ah Al-‘Aqliyah Fi Falsafat Ibn Rusyd, (Kairo, Dar Al-Ma’arif, t.t)
Jabiri (Al), M. Abd., Formasi Nalar Arab, Terj. Imam Khoyri, (Yogyakarta, Ircisod, 2003)
Jabiri (Al), M. Abd.,Bunyat Al-Aql Al-Arabi, (Bairut: Al Markaz Ats-Thaqafi Al-‘Arabi, 1993)
Jabiri (Al), A. Abd.,Tragedy Intelektual, terj. Afandi Abdillah (Yogyakarta, Pustaka Alief, 2003)
Muhmidayeli, Membangun Paradigma Pendidikan Islam, (Pekan Baru, Penerbit UIN Pasca Sarjana, 2007)
Mundiri, Logika, (Jakarta, Rajawali Pers, 2001)
Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge, Islamic Text Society, 1987)
Nasution, Hasyimsyah,Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001)
Nyubi, Nazih,Political Islam; Religion And Politics In The Arab Word, (London, Reutledge,1991)
Nor Wan Daud, Wan Mohd, The Konsep Of Knowledge In Islam, (London, Mansel, 1989)
Suyuti (Asy), Jalaludin,Jaami’u Ashogir (t.k., t.p. t.t.)
Syaifuddin Anshari, Endang,Ilmu Filsafat Dan Agma, (Surabaya, Bina Ilmu, t.t)
Walbridge, Jhon,Mistisme Filsafat Islam, Keraifan Iluminatif Quthb Al-Din Al-Syirazi, (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2008)
Widodo, Kamus Ilmiah Popular (Yogyakrta, Absolut, 2002
Zaprulkhan, Epistemology Burhani Dalam Pemikiran Para Filosof Muslim, Jurnal, Arah Baru Study Islam (Yogyakarta, Aruzz Media Group, 2008)



[1]Nasr, S.H., Science and Civilization in Islam, (Cambridge, Islamic Text Society, 1987) hal. 58
[2]Hamid Fahmy Zarkasyi, “Framework Kajian Orientalis dalam Filsafat Islam”, Jurnal(Jakarta, ISLAMIA, 2005) hal 57
[3]Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah, hlm. 258; Ibid., hlm 47.
[4]Namun, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, setelah datangnya gelombang Hellenisme, istilah hikmah terdesak oleh istilah falsafah, yang ditandai dengan adanya penerjemahan karya-karya filosof Yunani. Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Jurnal Framework … hal. 57.
[5]Qadir, C.A., Philosophy and Science in the Islamic World, (London, Routledge, 1988), hlm. 28
[6]Ibid, hal 29
[7]Ibid, hal 31
[8]Hamid Fahmy Zarkasyi, hal. 60.
[9]Lihat, Jhon Walbridge, Mistisme Filsafat Islam, Keraifan Iluminatif Quthb Al-Din Al-Syirazi, (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2008) hal 1
[10]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996) hal 7.
[11]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001) hal 15.
[12]Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1988) hal  6
[13]Ibid, hal 9-10
[14]Ibid, hal 11
[15]A. Hanafi, MA., Pengantar Filsafat…..hal 11
[16]Musa al- Asy-Arie, Filsafat Islam; Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis, Perspektif, (Yogyakarta, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992) hal 15
[17]Ibid, Musa Al-Asy’arie, hal 16
[18]Ibid, Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, filsafat…hal 5
[19] Zaprulkhan, Epistemology Burhani Dalam Pemikiran Para Filosof Muslim, Jurnal, Arah Baru Study Islam (Yogyakarta, Arruz Media Group, 2008) hal 235
[20]Lihat, M. Abed Al-Jabiri, Formasi Analr Arab, Terj. Imam Khoyri, (Yogyakarta, Ircisod, 2003) hal 31-61
[21] Lihat Mundiri, Logika, (Jakarta, Rajawali Pers, 2001) hal 8
[22] Ending Syaifuddin Anshari, Ilmu Filsafat Dan Agma, (Surabaya, Bina Ilmu, t.t) hal 267
[23]Departemen Agama R.I, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta, Pentafsir al-Qur’an, 1971) hal 120
[24]Jalaludin Asy-suyuti, Jaami’u Ashogir (t.k., t.p. t.t.) hal 44
[25] Lihat abdurrahman asegaf, filsafat….hal 27
[26]Lihat Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta, LKIS, 2008) hal 37.
[27] Tadwin adalh memberikan fungsi historis-politis tertentu, juga memeberikan pengaruh intelektual yang sangat kuat terhadap pemikiran arab-islam (masa keemasan), bahkan hingga masa-masa berikutnya, lihat Nazih Nyubi, Political Islam; Religion And Politics In The Arab Word, (London, Reutledge,1991) hal 10-11
[28]Lihat M. Abd. Al-jabiri, Bunyat Al-Aql Al-Arabi, (Bairut: Al Markaz Ats-Thaqafi Al-‘Arabi, 1993) hal 14
[29] Mahmud Arif, Pendidikan…hal 57
[30]M. Abd. Al-Jabiri, Bunyat…hal 36-37
[31] Mahmud arif,Pendidikan …hal 38
[32]Ibid,Ibid Mahmud arif, Hal 39
[33]George A. Maqdisi, Cita Humanism Islam,(Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2005) Hal 43
[34]Lihat George Maqdisi, The Rises Of Humanism In Classical Islam And The Christian West; With Special Reference To Scholastism, (Edinburgh, Edinburgh University Pers, 1990) hal 12
[35]M. Abd. Al Jabiri, Bunyat…hal 189.
[36] Konon, istilah hermes dalam mitologi yunani adalah nama dewa yang menjadi perantara antara sang maha dewa (tuhan) dengan manusia.  Perantara adantara dunia dunia ‘langit’ dengan ‘bumi’. Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutic (Jakarta, Paramadinan, 1996) hal 125-126
[37] Lihat Muhammad arif, Pendidikan…56
[38]M. Abd. Al-jabiri,Bunyat… 251
[39] Haidar bugir mengemukakan tahap-tahap perkembangan tasawuf di dunia islam meliputi: (1) tahap zuhud (asketisme) (abad ke I hingga ke II H.); (2) tahap tasawuf (abad ke III sampai ke IV H.), (3) tahap tasawuf falsafi (abad ke V-VI H.) dan (4) tahap tarekat (abad VII H.) selanjutnya, lihat Haidar Bugir, Buku Saku Tasawuf, (bandung, Mizan, 2005) hal 98-103
[40] Mahmud Arif, Pendidikan…hal 65
[41]Ibid, hal 66
[42]Ibid, hal 67
[43] Lihat, M. Athif Al-Iraqi, An-Naz’ah Al-‘Aqliyah Fi Falsafat Ibn Rusyd, (Kairo, Dar Al-Ma’arif, t.t) hal 62-63
[44] Lihat Abdurrahman Assegaf, filsafat…., hal 2
[45] Departemen Agama R.I, Al-Qur’an Dan…..hal 862
[46]Termasuk dalam ibadah mahdah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan ibdah yang ghairu makhdah cakupannya lebih luas, seperti solidaritas sosial, etika politik, kewajiban menuntut ilmu, masalah pergaulan, kepedulian terhadap lingkungan sekitar, kerja sama antar bangsa, penegmabngan SDM dan lain-lain. Lihat Abd. Rahman Assegaf, Filsafat…, hal 21.
[47]Lihat, sejarah didirikannya lembaga madrasah nizhamiyah, George A. Makdisi, Cita… hal 85
[48]Abd. Rahman Assegaf, “Membangun Format Pendidikan Islam Di Era Globalisasi” Dalam Pendidikan Islam Dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta, Al-Ruzz, 2004)hal 18
[49] Normatif menurut Kamus Ilmiah Populer Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat keharusan menurut norma, sedangkan deduktif adalah pola-pola pemikirana umumke khusus. Lihat, Widodo, Kamus Ilmiah Popular (Yogyakrta, Absolut, 2002) hal 491. Dan Abd. Rahman Assegaf, filsafat....hal 22.
[50]Wan Mohd Nor Wan Daud, The Konsep Of Knowledge In Islam, (London, Mansel, 1989) Hal 104
[51] Lihat, Muhmidayeli, Membangun Paradigma Pendidikan Islam, (Pekan Baru, Penerbit UIN Pasca Sarjana, 2007) hal 4
[52] Lima pilar tersebut adalah syahadaht, sholat, puasa, zakat da haji yang tertuang dalam rukun islam.
[53] Lebih lanjut Lihat, Abdurrahman Asegaf,filsafat….. hal 24
[54]A. Abd. Al-jabiri, Tragedy Intelektual, terj. Afandi Abdillah (Yogyakarta, Pustaka Alief, 2003) hal 247
[55] Zaprulkhan, Epistemology Dalam Pemikiran Filosof Muslim,  Jurnal, Arah Baru Studi Islam, hal 242.
[56]Amin Abdullah, Pengantar, Islamic studys; Dalam Paradigama Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta, suka pers 2007) hal vii
[57] Lihat, K bertens, Sejarah Filsafat Islam, (Yogyakarta, Kanisius, 1999) hal 473

ALIRAN-ALIRAN UTAMA
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



Dalam pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil penilaian para filosof, telah melahirkan berbagai macam pandangan. Adakalanya, beberapa pandangan saling mendukung, dan adakalanya pula berbeda dan saling berlawanan. Perbedaan itu antara lain disebabkan oleh pendekatan yang dipakai berbeda-beda, sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.
Dalam filsafat, dikenal dengan beberapa aliran atau pandangan antara lain Idealisme, Realisme, Materialisme, Pragmatisme, dan lain-lain. Aplikasi aliran-aliran filsafat tersebut dalam pendidikan kemudian menghasilkan filsafat pendidikan. Dari kajian tentang filsafat pendidikan, dihasilkan beberapa teori atau aliran-aliran filsafat pendidikan. Aliran-aliran filsafat pendidikan Barat yang berkembang antara lain: Progressivisme, Essensialisme, Perennialisme, Rekonstruktivisme, dan Eksistensialisme.
Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat pendidikan Islam, yaitu:
(1) aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah al-Ghazali, (2) aliran Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan (3) aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.
Pemetaan demikian antara lain didasarkan pada konsep keilmuan yang melandasi aliran pemikiran pendidikan Islam tadi. Menariknya, konsep keilmuan ternyata memang diakui sebagai salah satu tema sentral dalam spektrum tradisi intelektual Islam. Berdasarkan “peta” aliran itu, kita dapat menyimpulkan bahwa khazanah pemikiran pendidikan Islam tidaklah monolitik dan uniform, melainkan variatif dan plural sebagaimana dalam tradisi pemikiran keislaman lainnya.[1]
1.    ALIRAN KONSERVATIF (AL-MUHAFIDZ)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi.
Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak.[2]
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:
a.       Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1)     Ilmu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi,[3] terdiri atas:
a)      Ilmu ushul (ilmu pokok). Contoh: ilmu al-qur’an, sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat dan ijma.
b)      Ilmu furu’ (cabang). Contoh: fiqh dan akhlak.
c)      Ilmu pengantar (mukaddimah). Contoh: ilmu bahasa dan gramatika.
d)      Ilmu pelengkap (mutammimah).
2)     Ilmu ghoiru syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama’ atau intelektual muslim,[4] terdiri atas:
a)      Ilmu terpuji. Misalnya: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
b)      Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan). Misalnya: kebudayaan, sastra, sejarah, puisi.
c)      Ilmu yang tercela (merugikan). Misalnya: ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari filsafat.
b.      Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi:
1)        Ilmu yang fardlu ‘ain, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Contoh: ilmu tentang tata cara shalat, dan puasa. Kemudian, ilmu yang fardlu ‘ain ini, oleh al-Ghazali, dibagi menjadi dua yaitu: Ilmu Mu’amalah dan ilmu Mukasyafah.
2)        Ilmu yang fardlu kifayah, yakni ilmu yang bila sebagian umat Islam telah mempelajarinya, maka yang lain tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya. Contoh: ilmu kedokteran, ilmu hitung dan perdagangan.
Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
a.    Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
b.    Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta didik.
c.    Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
d.    Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
Sedangkan menurut Ibnu Jama’ah, para penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan al-Quran, menghafal dan menafsirkannya.  Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu diprioritaskan adalah Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan Sharaf.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran konservatif antara lain:
a.    Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa membawa manfaat di akhirat.
b.    Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan adalah sia-sia.
c.    Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.
2.    ALIRAN RELIGIUS-RASIONAL (AL-DINIY AL-‘AQLANIY)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih. Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut Ikhwan al-Shafa[5], yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.[6]
Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa.[7] Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju “linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu: (1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya; (2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan (3) Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.[8]
Ikhwan tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar tiada lain hanyalah proses mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah. Segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.
Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia. Implikasinya adalah konsep ilmu berpangkal pada “kesedia-kalaan” ilmu tanpa pembatasan.
Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut:
a.    Ilmu-ilmu Syar’iyah (keagamaan), yaitu:
1)         Ilmu Tanzil (ilmu Quran-Hadits)
2)         Ilmu Ta’wil (ilmu penafsiran)
3)         Ilmu Akhbar (ilmu penyampaian informasi keagamaan)
4)         Ilmu pengkajian sunnah dan hokum.
5)         Ilmu ceramah keagamaan, ilmu kezuhudan dan ta’bir mimpi.
b.    Ilmu-ilmu Filsafat
1)         Riyadliyyat (ilmu-ilmu eksak)
2)         Mantiqiyyat (retorika-logika)
3)         Thabi’iyyat (ilmu kealaman atau fisika)
4)         Teologi (ketuhanan).
c.    Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematik)
1)         Ilmu kitabah-qira’at (baca-tulis)
2)         Ilmu Nahwu (bahasa dan gramatika)
3)         Ilmu hitung dan transaksi
4)         Ilmu syi’ir dan prosa
5)         Ilmu peramalan
6)         Ilmu tenun dan sihir
7)         Ilmu profesi
8)         Ilmu jual-beli
9)         Ilmu sejarah
Tokoh lain dari aliran ini adalah Al-Farabi. Ia menganalisis manusia secara “fungsional-organik”. Ia membagi potensi manusia menjadi enam tingkatan, yaitu:
a.         Potensi al-ghadziyyah  (organ-organ tubuh yang berguna untuk mencerna makanan). Potensi ini timbul setelah manusia lahir.
b.         Potensi perasa, yaitu bias merasakan hawa dingin atau panas, dan lain-lain.
c.         Merespons dan bereaksi.
d.         Mempersepsi dan menghafal stimuli-stimuli inderawiah yang telah diterimanya.
e.         Potensi mutakhayyilah (imajinasi), yaitu mengasosiasikan dan memilah-milah unsur-unsur stimuli dengan aneka model.
f.           Potensi muthlaqah (mengabstraksi), yaitu menalar, mengidentifikasi antara yang indah dan yang jelek, memungkinkan berkreasi dan berinovasi.
Al-Farabi menghendaki agar operasionalisasi pendidikan seiring dengan tahap-tahap perkembangan fungsi organ tubuh dan kecerdasan manusia.
Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional ini antara lain:
a.         Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan dari aktivitas belajar.
b.         Modal utama ilmu adalah indera.
c.         Lingkup kajian meliputi pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang ada.
d.         Ilmu pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral dan sosial.
e.         Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting.
3.    ALIRAN PRAGMATIS (AL-DZARAI’IY)
Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme Barat yaitu John Dewey. Bila filsafat pendidikan Islam berkiblat pada pandangan pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang di luar jangkauan pancaindera.[9]
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabi’i (pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan berfikir.[10] Pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki.
Dia menglasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, yaitu:
a.    Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan Teologi.
b.    Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasa-Araban bagi ilmu syar’iy, dan logika bagi ilmu filsafat.[11]
Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a.    Ilmu ‘aqliyah (intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir rasio, yakni ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik.
b.    Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari orang terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun, daya pikir manusia merupakan “karya-cipta” khusus yang telah didesain Tuhan. Manusia pada dasarnya adalah jahil (tidak tahu), ia menjadi ‘alim (tahu) karena manusia belajar.
Ibn Khaldun menjadikan kealamiahan sebagai salah satu sumber pengetahuan rasional. Ia membebaskan rasio dari dari kungkungan naql (dogma, tradisi) dan menjadikannya sebagai sumber otonom pengetahuan.
Ia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran Pragmatis antara lain:
a.         Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena proses belajar.
b.         Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan.
c.         Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.


[1]Mahmud Arif, dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis karya Muhammad Jawwad Ridla, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002).
[2]Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam : Perspektif Sosiologis-Filosofis, Terj.Mahmud Arif, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 74-75.
[3]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 90.
[4]Ibid.
[5]Ikhwan al-Shafa merupakan kelompok terorganisir, terdiri dari para filosof-moralis, yang mempunyai tujuan-tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui radikal-revolusioner, melainkan melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas.
[6]Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,78.
[7]Ibid., 85-86.
[8] Ibid., 87.
[9]Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 99.
[10]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008), 125.
[11]Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, 105.

A.   PENDAHULUAN
Filsafat pendidikan merupakan titik permulaan dalam proses pendidikan, juga menjadi tulang punggung kemana bagian-bagian yang lain dalam pendidikan itu bergantung dari segi tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode mengajar, penilaian adminitrasi, alat-alat mengajar, dan lain-lain lagi aspek pendidikan yang memberinya arah, menunjuk jalan yang akan dilaluinya dan meletakkan dasar-dasar dan prinsip tempat tegaknya.
Banyak orang yang termenung pada saat tertentu, kadang-kadang karena membingungkan dan kadang-kadang karena rasa ingin tahu dan berfikir sesuatu yang yang dianggap pokok. Apakah kehidupan? Bagaimana dapat terjadi cinta yang kuat antara suami istri? Mengapa diciptakan langit dan bumi? Apakah hubungan adanya siang dan malam? Dan lain sebagainya. Banyak sekali pertanyaan yang berdengung-dengung di benak kita yang kadang kita sendiri tidak tahu apa alasannya, bak lebah yang mencari bunga untuk dihinggapi.
Sebelum memasuki segmen pengertian Filsafat Pendidikan Islam tentu harus diawali dengan bahasan tentang pengertian filsafat pendidikan secara umum. Menurut Imam Barnadib, filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakekatnya merupakan jawaban dari berbagai pertanyaan dalam lapangan pendidikan. (Said, 1996) Jadi filsafat pendidikan berusaha akan menjawab semua problematika dalam masalah pendidikan berdasarkan analisa filosofis sehingga tujuan pendidikan itu dapat tercapai dengan maksimal.
Sebab masyarakat yang akan kita bicarakan itu adalah masyarakat Islam yang sebagian besar anggota-anggotanya ingin melaksanakn Islam dengan sempurna dalam segala urusan kehidupan dan berusaha member corak Islam atas seluruh sistemnya. Filsafat pendidikan berfungsi sebagai pedoman bagi usaha-usaha perbaikan, meningkatkan kemajuan dan dasar yang kokoh bagi tegaknya system pendidikan.
Sebelum kita menginjak dalam pembahasan tentang aliran-aliran yang ada dalam Islam, sebaiknya kita mengetahui dahulu tentang makna dan arti Filsafat Pendidikan Islam. Adapun filsafat pendidikan Islam, dalam hal ini al-Syaibani menjelaskan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah sebagai prinsip-prinsip dan berbagai kepercayaan yang berasal dari ajaran Islam atau sesuai dengan jiwa Islam yang mengandung kepentingan pelaksanaan dan bimbingan dalam bidang pendidikan.
Filsafat pendidikan yang berdasarkan pada Islam ini tidak lain adalah pandangan dasar pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan orientasi pemikirannya bedasarkan ajaran tersebut. Dari pengertian tersebut, berarti terdapat beberapa unsure dalam pendidikan Islam yaitu landasan-landasan pendidikan Islam berupa al-Qur’an dan as-Sunnah, bersifat filosofis yang mendasar sampai ke akar persoalan, memberikan tujuan dan proses yang beriorentasi ajaran Islam. (al-Syaibani, 1979)
Menurut Zuhairini, dkk (1995) Filsafat Pendidikan Islam adalah studi tentang pandangan filosofis dari system dan aliran filsafat dalam Islam terhadap masalah-masalah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia muslim umat Islam. Sedangkan Abuddin Nata (1997) mendefinisikan Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’a dan hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli khususnya filosof muslim sebagai sumber skunder.[1]
Mungkinkah seorang dapat dianggap sebagai filosof Islam? Apabila ia sendiri tidak paham landasan-landasan pemikirannya. Menurut Ibnu Miskawaih, syariat agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia. Pendidikan juga berpengaruh terhadap corak hitam putih dalam pemikiran seorang insan.
Setiap filosof pendidikan Barat maupun filosof pendidikan Islam pasti mempunyai aliran yang dicetuskan maupun yang dianut oleh masing-masing orang. Misalnya saja dalam filsafat pendidikan Barat ada yang namanya aliran Nativisme, aliran Naturalisme, aliran Empirisme, aliran Konvergensi, dan lain-lain. Tidak berbeda pula dengan filssafat pendidikan Islam, di dalamnya juga terdapat banyak aliran yang berbeda tetapi konteks dan rujukan tetap kepada al-Qur’an dan al-Hadist.
Maka pentingnya makalah ini di buat untuk mengetahui tentang aliran-aliran filsafat pendidikan Islam dan juga implikasinya dalam pemikiran dan pendidikan. Aliran-aliran Religius Konservatif dengan tokoh utama Imam al Ghazali, aliran Religius Rasional dengan tokoh utama Ikhwan as Sofa dan aliran Pragmatis Instrumental dengan tokoh utaman Ibnu Khaldun.
Pemetaan demikian berdasarkan pada konsep keilmuan yang berlandaskan aliran pendidikan Islam yang telah mereka pelajari. Menariknya, konsep keilmuan ternyata diakui sebagai tema sentra ataupun spektrum tradisi intelektual. Berdasarkan “peta” aliran itu, bahwa khazanah pemikiran pendidikan Islam tidaklah monolitik dan uniform, melainkan variatif dan plural seperti tradisi pemikiran plural lainnya.[2]
Dalam buku karya bapak Muhaimin dijelaskan selain aliran yang telah disebutkan diatas masih ada aliran yang lain yaitu, aliran Perenial-Esensial Salafi, aliran Perenial Madzhabi, aliran Modernis, aliran Perenial-Esensialis Konstektual Falsikatif dan aliran Rekonstruksi Sosial. Masing-masing mempunyai dan ciri-ciri pemikiran, yang berimplikasi pada fungsi pendidikan itu sendiri.
Selanjutnya, akan dibahas secara rinci akan pengertian dan implikasi aliran filsafat pendidikan Islam dalam pendidikan.

1.     Aliran Religius Konserfatif ( al Muhafid)
Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah Imam al Ghazali, Ibnu Hajar al Haitami, Ibnu Sahnun dan Nasirudin at Thusi. Aliran ini cenderung murni keagamaan dan aliran ini memaknai ilmu dengan makna yang sempit. Menurut at Thusi ilmu adalah yang berguna di hari ini dan akan membawa manfaat di akhirat kelak.[3] Bila kita mau mengamalkan apa yang kita dapatkan dan terapkan maka inilah makna ilmu yang sebenarnya. Dimana ilmu dapat menjadi sarana agar menjadi orang yang lebih baik dan mau menjadikan orang lain untuk lebih baik, inilah ilmu yang sebenarnya.
Al-Gazali termasuk filosof pendidikan Islam berpaham empiris, yang menekankan pentingnya pendidikan terhadap pertumbuhan perkembangan anak didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada kedua orang tuanya yag mendidiknya. Telah tertulis dalam hadist Nabi SAW قال رسول الله ص.م:" كلّ مولود يولد على الفطرة فأبواه يهوّدانه أو ينصرانه أو يمجّسانه" Tujuan pendidikan (jangka pendek) menurut al-Ghazali ialah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. (al-Ibrashi, 1990) syarat untuk mencapai tujuan ini, manusia harus memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan bakatnya.
Al Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:
a.       Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua:
1.      Ilmu Syar’iyah, ilmu yang berasal dari para Nabi,[4] terdiri atas:
a.       Ilmu Ushul/ilmu pokok. Contoh: ilmu al Qur’an dan ilmu Hadis
b.      Ilmu Furu’/ilmu cabang. Contoh: ilmu Fiqh dan Akhlaq
c.       Ilmu Pengantar/muqoddimah. Contoh: ilmu Bahasa dan Gramatika
d.      Ilmu Pelengkap/mutammimah.
2.      Ilmu Ghoiru Syar’iyah, ilmu yang berasal dari ijtihad ‘ulama’ dan intelektual muslim.
b.      Berdasarkan sifatnya, ilmu dibagi menjadi dua yaitu
ilmu terpuji(mahmudah) dan ilmu tercela( madzmumah). Menurut Imam al Ghazali ilmu yang terpuji wajib dipelajari dan dipahami, sementara ilmu yang tercela wajib dihindari.
Al-Ghazali juga berpendapat bahwa di dalam proses pendekatan pembelajaran, ada 2 macam yakni ta’lim insani dan ta’lim rabbani.[5] Ta’lim insani adalah belajar dengan bimbingan manusia. Pendekatan ini adalah cara umum yang biasanya dilakukan orang dan biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat peraga inderawi yang diakui oleh orang-orang berakal. Ta’lim insani dibagi menjadi 2:
a)      Proses eksternal melalui proses belajar mengajar
Dalam proses belajar sebenarnya terjadi proses eksplorasi pengetahuan sehingga menghasilkan perubahan-perubahan perilaku. Seorang guru menyampaikan ilmu yang mereka miliki dan murid berusaha untuk menggali dan menggali dan mengerti apa yang ingin diketahui.
b)      Proses internal melalui proses tafakkur
Tafakkur diartikan dengan membaca realitas dalam dimensi wawasan spiritual dan penguasaan pengetahuan hikmah. Proses tafakkur dilakukan dengan pembersihan jiwa terlebih dahulu dari segala sifat yang mengotori hati.

Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran imam al Ghazali antara lain:
a.       Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
b.      Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta didik.
c.       Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
d.      Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
e.       Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah, agar dapat mensucikan jiwa dengan akhlaq al-karimah ( Q.S.Al An’aam/6:162;Adz Dzariyat/ 51:56).
f.       Belajar dengan bertahap dengan memulai pelajaran yang mudah ke sukar atau dari fardhu ‘ain menuju fardhu kifayah ( Q.S.Al Fath/48:49)
Rumusan tujuan pendidikan aliran ini didasarkan pada firman Allah swt, tentang tujuan penciptaan manusia yaitu :
“ Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku ( Q.S. al-dzariat: 56).”
Sedangkan menurut Ibnu Jama’ah, para penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan al-Quran, menghafal dan menafsirkannya.  Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu diprioritaskan adalah Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan Sharaf.
Implikasi aliran ini terhadap pendidikan, mengenai proses pembelajaran harus ada integrasi antara materi, metode dan media pendidikan. Seluruh komponen harus bisa dimaksimalkan pemakaiannya dalam pendidikan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, integrasi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajaran yang justru merusak akidah dan akhlaknya.

Adapun metode pendidikan yang diklasifikasikan oleh al-Ghazali menjadi dua bagian:
Pertama, metode khusus pendidikan agama, metode ini memiliki orientasi kepada pengetahuan aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar dibandingkan dengan pendidikan umum lainnya.
Kedua, metode khusus pendidikan akhlaq, al-Ghazali (1991) mengungkapkan:
“Sebagaimana dokter, jikalau memberikan pasiennya dengan satu macam obat saja, niscaya akan membunuh kebanyakan orang sakit, begitupun guru, jikalau menunjukkkan hanya satu jalan kepada murid, niscaya membinasakan hati mereka.
Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada taraf pertama ialah agama dan syari’at, terutama al-Qur’an. Begitu pula metode/media yang diterapkan juga harus mendukung; baik secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis, bagi keberhasilan proses pengajaran. Pendidikan benar-benar ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dunia bukanlah tujuan utama.

2.     Aliran Religius Rasional ( ad Diny al ‘Aqlany)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih. Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut Ikhwan al-Shafa[6], yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.[7]
Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa.[8] Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju “linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu: (1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya; (2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan (3) Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.[9]
Dari hasil pembahasannya Ikhwan al Shafa menyusun sebuah buku yang terdiri dari sejumlah risalah yang berjudul “ Rasail Ikhwan al Shafa wa al-Kullah al-Wafa”. Kitab ini terdiri atas empat jilid yang berisikan ikhtisar tentang pengetahuan yang ada ketika itu yang mencakup semua objek studi manusia, seperti: ilmu pasti, ilmu alam, musik, etika, biologi, kimia, metodologi, gramatika, botani, metafisika, alam akhirat dan lain sebagainya.
Menurut Ikhwan, setiap anak lahir dengan membawa sejumlah bakat yang perlu diaktualisasikan dan pendidik seharusnya mengangkat potensi laten yang terdapat dalam anak tersebut. Di sini pendidik dan orang tua dituntut untuk memberikan contoh yang baik dalam perilaku sehari-harinya, sehingga menjadi panutan ke arah yang lebih baik.
Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Menurut Ikhwan al Safa, hakikat manusia terletak pada jiwanya. Sementara jasad merupakan penjara bagi jiwa. Oleh karena itu, ruang lingkup jasad hendaknya dipersempit, sedangkan ruang lingkup jiwa diperluas. Manusia hendaknya hidup zuhud agar jiwanya lebih luasa atas tubuhnya. Kehidupan yang demikian akan mensucikan jiwanya dalam mengaharap cinta Allah.[10]
Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.Tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa adalah untuk peningkatan harkat manusia kepada tingkatan yang tertinggi (malaikat yang suci), agar dapat meraih ridha Allah SWT.
Sedikit berbeda antara Ikhwan al Safa dan Ibnu Miskawaih, apabila Ikhwan al Shafa lebih terfokus kepada anak didik, Ibnu Miskawaih terkonsentrasi dengan suatu kedudukan ilmu dan budi pekerti. Menurut Busyairi Majidi (1997) Ibnu Miskawaih Miskawaih menempatkan ilmu ke dalam suatu kedudukan berdasarkan objek ilmu itu. Ilmu yang paling mulia menurutnya adalah ilmu pendidikan, karena objek kajiannya terletak pada budi pekerti manusia, menyangkut subtansi manusia.[11] Dan segala ilmu yang mengembangkan quwwatu al-nathiqoh adalah ilmu yang paling mulia.
Martabat suatu ilmu sesuai dengan urutan martabat hakikat objek ilmu itu dalam alam ini, misalnya ilmu tentang manusia lebih mulia dari ilmu hewan, dan ilmu hewan lebih mulia daripada ilmu tumbuh-tumbuhan, dan ilmu tumbuhan lebih mulai daripada ilmu geologi, geologi (ilmu jamadat). (Basyir, 1993).
Konsep pendidikan Ibnu Miskawaih, sebagaimana yang tercermin dalam awal kitabnya Tahdzib al-Akhlaq ialah terwujudnya pribadi susila. Khuluq adalah alamiah, namun bisa berubah cepat atau lambat. Pemikiran Miskawaih ini, menolak sebagain pemikiran Yunani bahwa karakter tidak bisa berubah karena ia berasal dari watak dan pembawaan. Miskawaih memberikan ilustrasi; bahwa anak yang dididik dengan suatu cara tertentu berbeda secara mencolok dalam menerima nilai-nilai akhlaq yang luhur.
Materi pendidikan, menurut Ibnu Miskawaih adalah hal-hal yang wajib bagi kebutuhan jasmani untuk membentuk akhlaq yang mulia yaitu materi yang berhubungan dengan ibadah fisik, seperti: sholat, puasa dan zakat. Dan hal-hal yang berhubungan dengan jiwa yaitu aqidah yang benar. Dan hal yang berhubungan dengan sesama manusia. Seperti; ilmu mu’amalat, pertanian dan perkawinan.
Sesungguhnya materi pendidikan yang dianut oleh Ibnu Miskawaih dipengaruhi faham ontologism.[12] Ibnu Miskawaih mengisyaratkan tiga metode pendidikan secara umum, yaitu keteladanan, latihan (riyadhah) dan tarqhib dan tarhib. Tarqhib artinya janji disertai bujukan dan rayuan untuk memotivasi beramal shaleh. Dan tarhib artinya ancaman melalui hukuman yang disebabkan perbuatan dosa, kesalahan atuapun perbuatan yang melanggar syari’at. (al-Nahlawi, 1987). Sedangkan latihan barangkali dipengaruhi oleh pemikiran sufistik.
Tokoh lain dari aliran ini adalah Al-Farabi. Ia menganalisis manusia secara “fungsional-organik”. Ia membagi potensi manusia menjadi enam tingkatan, yaitu:
a.       Potensi al-ghadziyyah  (organ-organ tubuh yang berguna untuk mencerna makanan). Potensi ini timbul setelah manusia lahir.
b.      Potensi perasa, yaitu bisa merasakan hawa dingin atau panas, dan lain-lain.
c.       Merespon dan bereaksi.
d.      Potensi mutakhayyilah (imajinasi), yaitu mengasosiasikan dan memilah-milah unsur-unsur stimuli dengan aneka model.
e.       Potensi muthlaqah (mengabstraksi), yaitu menalar, mengidentifikasi antara yang indah dan yang jelek, memungkinkan berkreasi dan berinovasi.
Implikasi aliran ini terhadap pendidikan adalah ilmu pengetahuan tidak hanya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga sebagai saran untuk meningkatkan derajat manusia pada tingkatan yang tinggi, baik dalam lingkungan sosial maupun dalam pandangan agama. Pembentukan akhlaq dengan berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadist.
Intisari daripada aliran religius rasional adalah tidak hanya mengedepankan agama, tetapi juga ilmu yang lainnya dianggap penting juga. Karena kita hidup di dunia dan akhirat.

3.     Aliran Pregmatis Instrumental
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan ilmu pembelajaran adalah pembawaan manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Dalam proses belajar manusia harus sungguh-sungguh dan memiliki bakat. Dalam mencapai pengetahuan yang beraneka ragam, seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tapi juga bakat. Seseorang perlu mengembangkan keahliannya dibidang tertentu.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa: al-Ilm wa al-Ta’lim Thabi’iyyun fi al’Umran al-Basyari. (Khaldun, 1979). Pengetahuan dan pendidikan merupakan tuntutan alami dari peradaban (al-‘Umran) manusia. Hal itu dimungkinkan karena manusia dibekali dengan akal, yang dengan akal itu manusia berpikir dan memiliki motivasi untuk mengetahui sesuatu. Dengan berpikir berarti bersosialisasi dengan realitas di sekitarnya.
Ide tentang adanya hubungan antara ilmu dan peradaban memunculkan sesuatu ide yang lain yang merupakan konsekuensi logisnya yaitu: al-‘Ulum innama Takastsrat Haisu yaksuru al’Umran wa Ta’adzaa al-hadarah. Pengetahuan akan berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban.
Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok:
a.       Ilmu lisan (bahasa), tata bahasa dan sastra,
b.      Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits, berupa ilmu tafsir,     sanad, serta istinbat tentang kaidah-kaidah fiqh.
c.       Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits, berupa ilmu tafsir, sanad, serta istinbat tentang kaidah-kaidah fiqh.
Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
a.       Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa meneliti, pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakah tidak bisa demikian oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami suatu disiplin tertentu.
b.      Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi). Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang tinggi pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia di muka bumi.
c.       Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan jenis pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik.
Implikasi aliran ini terhadap pendidikan adalah dalam pembelajaran, Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab.
Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat. Pendidikan diupayakan agar peserta didik benar-benar menguasai suatu bidang ilmu pengetahuan yang memang telah menjadi bakatnya, yang nantinya dapat meningkatkan kehidupan sosialnya di masyarakat.
Menurut Ibnu Khaldun, orang yang mendapat keahlian dalam bidang tertentu jarang sekali ahli pada bidang lainnya, misalnya tukang jahit. Hal ini lantaran sekali seseorang menjadi ahli hingga keahliannya itu tertanam berurat akar di dalam jiwanya. Alasannya karena keahlian merupakan sifat atau corak jiwa yang tidak dapat tumbuh serempak. (Abuddin Nata, 1997).
Selain aliran-aliran yang telah disebutkan diatas ada beberapa aliran filsafat pendidikan Islan yang ditinjau dari tipologi yaitu, aliran Perenial-Esensial Salafi, aliran Perenial Madzhabi, aliran Modernis, aliran Perenial-Esensialis Konstektual Falsikatif dan aliran Rekonstruksi Sosial. Masing-masing mempunyai dan ciri-ciri pemikiran, yang berimplikasi pada fungsi pendidikan itu sendiri.
Perenial-Esensial Salafi aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as- Sunah bersikap regresif dan konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai era salaf, serta berwawasan kependidikan Islam yang beriorentasi pada masa silam (era salafi). Ciri-ciri pemikirannya adalah ia menjawab persoalan pendidikan dalam konsteks wacana salafi, memahami nash secara tekstual-lughawi, penafsiran ayat dengan ayat lain, ayat dengan hadis maupun hadis dengan hadis sehingga kurang adanya perkembangan dan elaborasi.
Fungsi pendidikan Islam baginya adalah melestarikan budaya masyarakat salaf yang dianggap ideal serta mengembangkan potensi dan interaksinya dengan nilai dan budaya masyarakat era salaf.
Perenial-esensialis mazhabi aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah dan bersikap regresif dan konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya, mengikuti aliran, pemahaman dan pemikiran terdahulu yang dianggap mapan, serta berwawasan kependidikan Islam yang tradisional dan beriorentasi pada masa silam. Ciri-ciri pemikirannya menekankan pada pemberiah syarh dan hasyiyah terhadap pemikiran pendahulunya, dan kurang adanya keberanian untuk mengkritik dan mengubah subtansi materi pendidikan pendahulunya.
Fungsi pendidikan Islam adalah melestarikan dan mempertahankan nilai, budaya, dan tradisi dari satu generasi ke generasi, serta pengembangan potensi dan interaksinya dengan nilai dan budaya masyarakat yang terdahulu.
Modernis aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah, menekankan perlunya berfikir bebas dan terbuka dengan tetap terikat oleh nilai-nilai kebenaran universal sebagaimana yang terkandung dalam wahyu Illahi; progressif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan kebutuhan lingkungan atau zaman; serta berwawasan kependidiksn Islam kontemporer. Ciri-ciri pemikirannya adalah tidak berkepentingan untu mempertahankan dan melestarikan pemikiran dan sistem pendidikan para pendahulunya, lapang dada dan menerima pemikiran dari manapun dan siapapun dan selalu menyesuaikan perkembangan sosial dan iptek.
Tugas pendidikan Islam adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal, aliran ini hampir sama dengan aliran religius rasional yang diprakarsai oleh Ikhwan al Shafa. Sedangkan fungsi daripada pendidikan Islam adala sebagai:
1.      Upaya pengembangan potensi peserta didik secara optimal, baik potensi jasmani, akal maupun hati,
2.      Upaya interaksi potensi dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya,
3.      Rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus agar dapat berbuat sesuatu secara intelegen  yang dilandasi dengan iman dan taqwa kepada Allah Swt.
Perenial-esensialis konstektual –falsikatif aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah, menekankan perlunya sikap konserfatif dan regresif terutama dalam konteks pendidikan agama, yang lebih mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang yang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan yang ada, wawasan kependidikan Islam yang concern terhadap kesinambungan pemikiran pendidikan Islam dalam merespon tuntutan perkembangan iptek dan perubahan sosial yang ada.
Ciri-ciri aliran ini:
1.      Menghargai pemikiran pendidikan Islam yang berkembang pada era salaf, klasik dan pertengahan.
2.      Mendudukan pemikiran pendidikan Islam era salaf dan klasik serta pertengahan dalam konteks ruang dan zamannya untuk difalsifikasi.
3.      Rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam terdahulu yang di anggap kurang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan era kontemporer.
Fungsi pendidikan Islam menurut aliran ini adalah sebagai:
1.      Upaya pengembangan potensi secara optimal serta interaksinya dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungan  tanpa mengabaikan tradisi yang sudah mengakar.
2.      Menumbuhkan nilai-nilai Ilahiyah dan insaniyah dalam konteks perkembangan Iptek dan perubahan sosial yang ada.
Rekonstruksi sosial aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah, di samping menekankan sikap progressif dan dinamis, juga sikap proaktif dan antisipasif dalam menghadapi menghadapi perkembangan Iptek, tuntutan perubahan, dan beriorentasi pada masa depan dan menuntut kreatifitas.
Tugas pendidikan Islam terutama membantu agar manusia menjadi makhluk yang cakap dan selanjutnya manusia mampu bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakat yang dilandasi iman dan taqwa kepada Allah. Karena hakikatnya manusia adalah khalifah Allh fil ardhi yang mampu untuk memecahkan permasalahan yang ada dengan potensi jismiah dan nafsiah yang mengandung dimensi al-nafsu, al ‘aql dan al-qalb (temuan Baharuddin, 2001), sehingga ia siap mengaktualisasikan potensinya dalam konteks hubungan horisontal (habl min al-nas), yang diwujudkan dalam bentuk rekonstruksi sosial  secara berkelanjutan untuk mencapai ridhoNya.
Fungsi pendidikan Islam adalah sebagai:
1.      Upaya menumbuh kembangkan kreativitas secara berkelanjutan
2.      Upaya memperkaya khazanah budaya manusia, dengan memperkaya isi nilai-nilai insani dan Ilahi
3.      Upaya menyiapkan tenaga kerja yang produktif yang berjiwa spirit Islam.
Kelima aliran ini dikonseptualisasikan dari hasil kajian terhadap aliran-aliran filsafat pendidikan pada umumnya, serta mencermati pola-pola pemikiran Islam yang berkembang dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modernitas, dan kajian kritis terhadap corak pemikiran pendidikan Islam yang berkembang pada umumnya sebagaimana terkandung dalam karya para ulama dan cendekiawan muslim dalam bidang pendidikan Islam.
Sebagai calon pendidik bukankah kewajiban kita untuk memahami dan mengamalkan aliran mana yang sesuai dengan pendidikan saat ini? Atau kita dapat memadukan antara satu aliran dengan aliran yang lainnya tanpa harus mengurangi nilai karena satu dengan yang lainnya saling melengkapi.
Contohnya saja, Filsafat Pendidikan Islam yang ada pada negara kita. Kecenderungan pola kajian pemikiran pendidikan Islam Indonesia, sebagaimana diamati oleh Azra, berbagai kecenderungan tersebut terkait dengan latar belakang mereka, baik latar belakang pendidikan maupun aktifitas mereka dalam kegiatan kemasyarakatan.
Terbatasnya literatur filsafat pendidikan Islam di Indonesia yang notabene sangat dibutuhkan oleh masyarakat akademis, juga mendorong penulisannya yang cenderung bersifat pragmatis, yang berimplikasi pada kesenjangan antara idealitas pemikiran mereka dengan realitas simbol-simbol pemikirannya sebagaimana tertuang dalam karya-karya mereka.
Menurut Muhaimin, yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah rekonstruksi sosial yang teosentris, dengan landasan pemikiran bahwa:
1)      Bangsa Indonesia mengakui Pancasila sebagai dasar Negara, sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konstek ajaran Islam, sila tersebut dimaknai dengan konsep tauhid, yang mencangkup konsep-konsep tauhid uluhiyah, ububiyah, mulkiyah dan rahmaniyah
2)      Bangsa Indonesia hidup dalam pluralisme yang sangat rentan terhadap konflik-konflik, namun tetap bertekad ber-Bhineka Tunggal Ika. Pengembangan Pendidikan Islam berusaha untuk menciptakan ukhuwah Islamiyah dalam arti luas.
3)      Perlunya pendidikan Islam untuk menyiapkan keunggulan manusia dalam Iptek, yang produktif, kompetitif, dengan tetap memiliki kesadaran akan hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama dalam alam demokratis.
Dari dulu sampai sekarang ini pendidikan merupakan hal yang paling penting untuk membawa mereka kepada kehidupan yang lebih baik, dan masalah sukses tidaknya pendidikan tidak lepas dari faktor pembawaan dan lingkungan. Pembawaan dan lingkungan merupakan hal yang tidak mudah untuk di jelaskan sehingga memerlukan penjelasan dan uraian yang tidak sedikit telah bertahun-tahun lamanya para ahli didik, ahli biologi, ahli psikologi,dan lain-lain memikirkan dan berusaha mencari jawaban, tentang perkembangan manusia itu sebenarnya bergantung kepada pembawaan ataukah lingkungan.
Dari aliran-aliran di atas dapat disimpulkan pula bahwa pada masing-masing aliran terdapat persamaan dan perbedaan yang dapat kita lihat dengan gamblang diantaranya yakni persamaannya sama-sama bersumber dari al-Quran dan as sunnah, kemudian perbedaannya terletak pada ciri-ciri dan fungsi aliran-aliran tersebut dalam filsafat pendidikan Islam.
Manfaat dengan kita mempelajari atau mengetahui aliran-aliran di atas juga dapat dipakai sebagai alat untuk memahami model-model pemikiran melalui telaah terhadap karya-karya ilmiah atau buku-buku, sehingga dapat dijelaskan aliran manakah yang lebih dominan dan menonjol dalam pembahasan aliran-aliran filsafat pendidikan islam. Sehingga kita juga dapat menentukan arah yang tepat dalam berpinjak dalam dunia pendidikan khususnya  pendidikan islam.
Perbedaan aliran-aliran yang ada sebaiknya disikapi dengan cara yang bijaksana dan positif, agar tercapai hakikat dan tujuan yang diharapkan.





PENUTUP
SIMPULAN
1.      Dari pembahasan di atas dapat kita kerucutkan ada dua macam aspek aliran filsafat pendidikan Islam, yaitu segi konsep keilmuan dan segi pola-pola pemikiran dan sumbernya. Aliran filsafat pendidikan Islam dari segi konsep keilmuan ada tiga yaitu aliran religius konserfatif, aliran religius rasional dan aliran pragmatis instrumental. Aliran filsafat pendidikan Islam dari segi pola pemikiran dan sumbernya ada lima yaitu aliran perenial-esensial salafi, aliran perenial-esensial salafi, aliran modernis, aliran perenial-esensialis konstektual-falsikatif dan aliran rekonstruksi sosial.
2.      Masing-masing aliran terdapat persamaan dan perbedaan yang dapat kita lihat dengan gamblang diantaranya yakni persamaannya sama-sama bersumber dari al-Quran dan as sunnah, kemudian perbedaannya terletak pada ciri-ciri dan fungsi aliran-aliran tersebut dalam filsafat pendidikan Islam.
SARAN
1.     Penggunaan setiap aliran dalam metode pendidikan hendaknya diselaraskan dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, tingkat usia peserta didik, kecerdasan bakat dan fitrahnya.
2.     Bersikap positif dan bijaksana untuk menyikapi semua perbedaan aliran yang ada.













DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Arif, dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis karya Muhammad Jawwad Ridla, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002).
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002)
Dr. H. Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Nuansa, 2003)
Dr. Jalaludin & Drs. Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: Rajawali Pers)
H. Ahmad Syar’I M.Pd, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)
/Filsafat Pendidikan Islam/Silabus/aliran-utama-filsafat-pendidikan.html
/Filsafat Pendidikan Islam/Silabus/aliran-filsafat-pendidikan-islam.html
/Filsafat Pendidikan Islam/Silabus/Resume aliran-aliran filsafat pendidikan islam _ elamin.htm


[1] H. Ahmad Syar’I M. Pd, Fislafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 6
[2] Mahmud Arif, dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis karya Muhammad Jawwad Ridla, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002).

[3] Filsafat Pendidikan Islam/Silabus/aliran-utama-filsafat-pendidikan. html. 523
[4] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 90.
[5] Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010)
[6] Sebuah perkumpulan rahasia yang bergerak dalam lapangan ilmu pengetahuan dan asas utama perkumpulan ini adalah persaudaraan yang dilakukan dengan tulus ikhlas, kesetiakawanan yang suci dan murni, serta saling menasehati antara sesama anggota untuk menuju ridho Illahi dan tidak melalui jalan radikal-revolusioner.
[7] Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,78.
[8] Ibid., 85-86.
[9] Ibid., 87.
[10] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi, h. 24
[11] H. Ahamad Syar’I M. Pd, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)
[12] Ibid, hlm. 93-94

Filsafat Pendidikan Islam (Aliran-aliran Pendidikan)

BAB I

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

A. Aliran Eksistensialisme
1. Sejarah munculnya eksistensialisme


Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938). Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan Nietzche. Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang individu)”. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan individualitasnya). Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul”. Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani

Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme bahwa manusia adalah benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi Subjek. Pandangan manusia menurut idealisme adalah manusia hanya sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme berkayakinan bahwa paparan manusia harus berpangkalkan eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang kongkrit.

Eksistensi oleh kaum eksistensialis disebut Eks bearti keluar, sintesi bearti berdiri. Jadi ektensi bearti berdiri sebagai diri sendiri

Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat yang menamakan dirinya eksistensialisme, yang para tokohnya antara lain Kierkegaard (1813 – 1915), Nietzsche (1811 – 1900) dan Jean Paul Sartre. Inti ajaran ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi mendahului esensi. Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri.

Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan membiarkan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu, kurikulum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa ‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup, cinta dan kematian.

Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua.[1] Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.

Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.”[2]

Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutkan rasional.[3] Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.

Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali Nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to[4] adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.

Pandangannya tentang prendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk.”[5] Oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai “Eksistensialisme’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan ahli pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendikan aliran Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.

Pandangan eksistensialisme adalah:
Menurut metafisika: (hakekat kenyataan) pribadi manusia tak sempurna, dapat diperbaiki melalui penyadaran diri dengan menerapkan prinsip & standar pengembangan ke pribadian
Epistimologi: (hakekat pengetahuan), data-internal–pribadi, acuannya kebebasan individu memilih
Logika: (hakekat penalaran), mencari pemahaman tentang kebutuhan & dorongan internal melaui analis & introfeksi diri \
Aksiologi (hakekat nilai), Standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih-diambil
Etika (hakekat kebaikan), tuntutan moral bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti yang lain
Estetika (hakekat keindahan), keindahan ditentukan secara individual pada tiap orang oleh dirinya
Tujuan hidup menyempurnakan diri melalui pilihan standar secara bebas oleh tiap individu, mencari kesempurnaan hidup
B. Perenialisme

Perennialisme diambil dari kata Perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “Continuing throughout the whole year” atau “Lasting for a very long time” abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu aliran perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.

Perennial berarti everlasting, tahan lama atau abadi. Aliran ini mengikuti paham realisme, yang sejalan dengan pemikrian Aristoteles bahwa manusia itu rasional. Sekolah adalah lembaga yang didesain untuk menumbuhkan kecerdasan. Siswa seyogyianya diajari gagasan besar agar mencintainya, sehingga mereka menjadi intelektual sejati. Akar filsafat ini datang dari gagasan besar Plato, Aristoteles dan kemudian dari St. Thomas Aquinas yang sangat berpengaruh pada model-model sekolah Katolik.

Kaum perrenialis mendasarkan teorinya pada pandangan universal bahwa semua manusia memiliki sifat esensial sebagai mahluk rasional, jadi tidaklah baik menggiring dan mencocok hidung mereka ke penguasaan keterampilan vokasional. Berbeda dari esensialis, eksperimen saintifik dianggap mengurangi pentingnya kapasitas manusia untuk berpikir. Pelajaran filsafat dengan demikian menjadi penting, agar siswa mampu berpikir mendalam, analitik, fleksibel, dan penuh imajinatif.

Perennialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini perennialisme memeberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau” regressive road to cultural.[6] Oleh karena itu perennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan yang telah terpuji ketangguhannya. Sikap kembali kepada masa lampau bukan berarti nostalgia, sikap yang membanggakan kesuksesan dan memulihkan kepercayaan pada nilai-nilai asasi abad silam yang juga diperlukan dalam kehidupan abad modern.

Perennialisme adalah gerakan pendidikan yang mempertahankan bahwa nilai-nilai universal itu ada, dan bahwa pendidikan hendaknya merupakan suatu pencarian, penanaman kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai tersebut.[7]

Asas yang dianut perennialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang berkiblat dua[8], yaitu:
Perennialisme yang theologis, bernaung di bawah supremasi gereja katolik, dengan orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinasa.
Perennialisme sekuler berpegang pada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.

Pendidikan menurut filsafat ini mesti membangun sejumlah mata pelajaran yang umum bukan spesialis, liberal bukan vokasional, yang humanistik bukan teknikal. Dengan cara inilah pendidikan akan memenuhi fungsinya humanistiknya yang mesti dimiliki manusia. Ada empat prinsip dari aliran ini :
Kebenaran bersifat universal dan tidak tergantung pada tempat, waktu, dan orang;
Pendidikan yang baik melibatkan pencarian pemahaman atas kebenaran;
Kebenaran dapat ditemukan dalam karya-karya agung; dan
pendidikan adalah kegiatan liberal untuk mengembangkan nalar.

Prinsip-prinsip pendidikan Perennialisme

Di bidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya: Plato, Arietoteles, dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini pokok pemikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi dari hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal sehingga ketertiban social hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normative dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan adalah: “membina pemimpin yang sadar dan mempraktikkan asas-asas normative itu dalam semua aspek kehidupan.

Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauan, dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi.

Prinsip-prinsip pendidikan perennialisme tersaebut perkembangannya telah mempengaruhi system pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa.
C. Aliran Rekonstruksionalisme
1. Pengertian

Rekonstruksionalisme dipelopori oleh Jhon Dewey, yang memandang pendidikan sebagai rekonstruksi pengalaman-pengalaman yang berlangsung terus dalam hidup. Sekolah yang menjadi tempat utama berlangsungnya pendidikan haruslah merupakan gambaran kecil dari kehidupan social di masyarakat. Perkembangan lebih lanjut dari rekonstruksionalisme Dewey adalah rekonstruksionalisme radikal, yang memendang pendidkan sebagai alat untuk membangun masyarakat masa depan.

Persahabatan pendidikan Amerika (Amerivcan Education Fellowship atau AEF)

Prinsip-prinsip yang menjadi landasan kerja AEF yaitu:
Memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada setiap anak, tanpa membedakan Ras, kepercayaan, atau latar belakang ekonomi
Memberikan “pendidikan tinggi” –latihan akademik, professional, dan teknikal– kepada setiap mahasiswanya untuk dapat menyerap dan menggunakan ilmu dan teknologi yang diajarkan
Memebuat sekolah-sekolah Amerika menjadi berperanan sangat penting sebagai satu bagian dari kehidupan nasional kita yang akan menarik karena para gurunya adalah laki-laki dan perempuan kita yang sangat bersemangat
Menyusun sebuah program pemuda untuk usia 17-23 tahun untuk membawa mereka dan sekolah aktif menuju pada berpatisipasi dalam masyarakat orang dewasa
Mengusahakan penggunaan penuh dari perlengkapan sekolah dalam waktu di luar sekolah untuk pertemuan-pertemuan pemuda, kegiatan-kegiatan masyarakat pendidikan orang dewasa
Bekerjasama penuh dengan semua lembaga masyaraklat dan lemabaga social menuju sebuah masyarakat demopkratis yang sesungguhnya, tetapi dalam waktu yang bersamaan menjaga pendidkan yang bebas dari kekuasaan suatu kelompok atau kepentingan tertentu
Terus memperluas penelitian dan eksperimentasi pendidikan
Mengajak pemimpin-pemimpin masyarakat untuk menjadikan pendidikan sebagai bagian dari masyarakat dan masyarakat menjadi bagian dari sekolah

Pada dasarnya aliran Rekonstruksionalisme adalah sepaham dengan aliran Perennialisme dalam hendak mengatasi krisis kehidupan modern. Hanya saja jalan yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang dipakai oleh perennialisme, tetapi sesuai dengan istilah yang dikandungnya, yang berusaha membina suatu consensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.

Untuk mencapai tujuan itu, Rekonstruksionalisme berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tataan baru seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga dan proses pendidikan Rekonstruksionalisme ingin.

Aliran rekonstruksi juga memiliki akar-akar filsafat eksistensialisme namun terutama berlandaskan pada pemikiran aliran progresif. Persamaan antara dua aliran filsafat ini adalah bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat relatif dan semua manusia mengelola dunia ini untuk memahaminya dan mengubahnya. Aliran rekonstruksi menginginkan transformasi kultur yang ada berdasarkan analisis terhadap ketidakadilan dan kesalahan-kesalahan mendasar dalam praktik-praktik pendidikan selama ini. Mereka kritis terhadap masyarakat kontemporer dan dianggap sebagai penggiat sosial yang peduli terhadap isu-isu nasional dan internasional.
 Bila tujuan pendidikan untuk menyiapkan anak didik sebagai pengubah dunia, maka sekolah harus membekali siswa dengan alat untuk melakukan perubahan, yakni demi transformasi dunia ini lewat rekonstruksi sosial. Guru dengan demikian memiliki peran penting dalam mengubah kebudayaan. Tokoh-tokoh besar aliran ini antara lain George Counts, Theodore Brameld, Ivan Illich, dan Paulo Freire.

Dalam bukunya Education for the Emerging Age (1950) Brameld menyarankan bahwa tujuan pendidikan bukan untuk memperoleh kredit atau sekedar pengetahuan, tetapi memberi manusia apapun rasanya, kepercayaannya, dan kehidupan yang lebih memuaskan dirinya dan masyarakatnya. Pengetahuan, pelatihan dan keterampilan adalah alat untuk mencapai tujuan ini, yakni realisasi diri.

Illich dalam bukunya Deschooling Society (1970) mempertanyakan apakah dunia ini rela membiarkan mayoritas penduduk tidak sekolah, membiarkan drop out anak-anak dari golongan kelas bawah. Konstribusi aliran ini bukan untuk menghapus sekolah, tetapi untuk melonggarkan pelembagaan (deinstituionalize) pengalaman pendidikan di sekolah, agar siswa mampu mentransformasi kultur yang ada. Illich melihat keterkaitan bahasa dengan kekuasaan. Dengan menguasai bahasa sampai tingkat literasi tinggi seseorang dapat menggapai kekuasaan dan mampu mentransformasi kebudayaan. Dalam Pedagogy of the Oppressed (1995), Illich menekankan pentingnya kemampuan manusia untuk mengidentifikasi dan mempertanyakan asumsi-asumsi ihwal hakikat dunia lewat dialog dan diskusi.

[1] Fernando R. Molina. The Sources of Eks`       istentialism As Philophys. New Jersey, Prentice-Hall, 1969 hal 1

[2] Fuad Hassan. Kita dan kami. Bulan Bintang, Jakarta, 1974 hal 7-8

[3] Paul Roubickzek. Existensialism For and Agiant. Cambridge University Press. 1966 hal 10

[4] Fuad Hassan. Op. cit. hal 71

[5] Joe Park. Op. cit. hal 128-138

[6] Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara. Jakarta 1995 hal 28

[7] Redja Mudyahardjo. Pengantar Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2008 hal 164-165

[8] Mohammad Noor Syam. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Usaha Nasional, Surabaya

1983 hal 297

aliran filsafat pendidikan Islam

A.    Aliran Religius Konservatif  
Tokoh dalam aliran filsafat ini adalah Imam al- Ghazali. Menurutnya kewajiban utama manusia dalam pendidikan dan penggalian ilmu pengetahuan adalah tentang dzat Allah.[1] Beliau termasuk filosof pendidikan Islam yang menganut faham idealisme yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya, dalam masalah pendidikanbeliau berfaham  empiris,[2] yang menekankan pentingnya pendidikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Menurutnya seorang anak tergantung pada kedua orangtua yang mendidiknya. Seorang anak hatinya bersih dari gambaran apapun. Jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik maka ia akan baik. Sebaliknya jika anak dibiasakan perbuatan buruk dan jahat maka dia akan berakhlak buruk. Menurut al-Ghazali ilmu yang wajib dipelajari sesuai dengan tingkatan wajibnya dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1.      Ilmu fardhu ain  (kewajiban personal)
Yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu. Ilmu-ilmu itu adalah ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari al-qur’an, ibadah-ibadah pokok, serta tata cara melakukan kewajiban tersebut. [3]
2.      Ilmu Fardhu Kifayah (kewajiban komunal)
Yaitu ilmu yang digunakan untuk memudahkan urusan dunia seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu tekhnik, ilmu pertanian dan ilmu industri. [4]
Al- Ghazali membagi ilmu pengetahuan yang wajib dipelajari oleh anak didik menjadi dua, yaitu ilmu yang tercela dan ilmu yang terpuji. Ilmu yang tercela yaitu ilmu yang tidak bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, dan ilmu perdukunan. Bila dipelajari akan membawa mudharat dan meragukan kebenaran adanya Tuhan. Ilmu yang terpuji yaitu ilmu tauhid dan ilmu agama. Ilmu ini akan mendekatkan seseorang kepada jiwa yang suci dan dekat kepada Allah. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yaitu ilmu yang tidak boleh diperdalam karena ilmu ini dapat membawa kepada kegoncangan iman dan ilhad (meniadakan Tuhan) seperti ilmu filsafat.[5] Aliran religious konservatif ini berpandangan bahwa semua yang ada di dunia berawal dari agama, maka segala hal yang berkaitan dengan ilmu harus berdasarkan nilai-nilai agama. 
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selaim untuk mendekatkan diri pada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan kemudaratan.[6]
Rumusan tujuan pendidikan didasarkan pada firman Allah swt, tentang tujuan penciptaan manusia yaitu :
 “ Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku ( Q.S. al-dzariat: 56)
B.     Aliran Religius Rasional
Tokoh aliran ini adalah ikhwan al- Shafa. Aliran ini memadukan antara sudut pandang keagamaan dengan sudut pandang kefilsafatan dalam menjabarkan konsep ilmu.[7] Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh).
Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Ikhwan al-Shafa membagi cabang pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika, fisika, dan metafisika. Dalam Rasa’il matematika meliputi: teori tentang bilangan, geometri, astronomi, geografi, musik, seni teoritis dan praktis, etika, dan logika. Fisika meliputi: materi, bentuk, gerak, waktu, ruang, langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan, hewan, tubuh manusia, indera, kehidupan dan kematian, mikrikosmos, suka, duka, dan bahasa. Metafisika dibagi menjadi psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme. Subdivisi pertama (psiko-rasionalisme) meliputi fisika, rasionalistika, wujud, mikrokosmos, jiwa, tahun-tahun raya, cinta, kebangkitan kembali dan kausalitas. Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.
Tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa adalah untuk peningkatan harkat manusia kepada tingkatan yang tertinggi (malaikat yang suci), agar dapat meraih ridha Allah SWT.
C.     Aliran Pragmatis Instrumental
Tokoh dalam aliran ini adalah Ibnu Khaldun. Sudut pandangnya di bidang pendidikan lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada aplikatif praktis. Dia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasar tujuan fungsionalnya, bukan berdasar pada nilai substansialnya atau sekuensnya semata.[8] Menurut Ibnu Khaldun, pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban. Terjadinya perbedaan lapisan social dalam masyarakat akibat dari hasil kecerdasan yang diproses melalui pengajaran. Dalam proses belajar manusia harus sungguh-sungguh dan memiliki bakat. Dalam mencapai pengetahuan yang beraneka ragam, seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tapi juga bakat. Seseorang perlu mengembangkan keahliannya dibidang tertentu. Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok :
1.      Ilmu lisan (bahasa), tata bahasa dan sastra
2.      Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits, berupa ilmu tafsir, sanad, serta istinbat tentang kaidah-kaidah fiqh.
3.      Ilmu aqli, ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikir dan kecerdasannya kepada filsafat dan semua pengetahuan, termasuk ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu hitung, dan ilmu tingkah laku.
 Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
a.       Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa meneliti, pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakah tidak bisa demikian oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami suatu disiplin tertentu.
b.      Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi). Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang tinggi pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia di muka bumi. Pendidikan yang meletakkan ketrampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan mengutamakan peradaban secara keseluruhan.
c.       Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan jenis pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik. Melalui pengembangan akal, akan dapat membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan kerjasama sosial dalam kehidupannya, guna mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.

D.    Implikasi Aliran Filsafat Pendidikan Islam terhadap Pendidikan
1.      Religius Konservatif
Mengenai proses pembelajaran, al-ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara materi, metode dan media atau alat pengajarannya. Seluruh komponen tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin, sehingga dapat menumbuh kembangkan segala potensi fitrah anak, agar nantinya menjadi manusia yang penuh dengan keutamaan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, integrasi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajaran yang justru merusak akidah dan akhlaknya. Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada taraf pertama ialah agama dan syari’at, terutama al-Qur’an. Begitu pula metode/media yang diterapkan juga harus mendukung; baik secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis, bagi keberhasilan proses pengajaran. Pendidikan benar-benar ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dunia bukanlah tujuan utama.
2.      Religius Rasional
Ilmu pengetahuan tidak hanya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga sebagai saran untuk meningkatkan derajat manusia pada tingkatan yang tinggi, baik dalam lingkungan sosial maupun dalam pandangan agama.
3.      Religius Pragmatis Instrumental
Dalam pembelajaran, Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab. Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat. Pendidikan diupayakan agar peserta didik benar-benar menguasai suatu bidang ilmu pengetahuan yang memang telah menjadi bakatnya, yang nantinya dapat meningkatkan kehidupan sosialnya di masyarakat.

[1] Hasan Bisri. Filsafat Pendidikan Islam. 2009. CV. Pustaka Setia: Bandung. Halm. 223
[2] Abuddin Nata. Filsafat Pendidikan Islam. 2005. Gaya Media Pratama: Jakarta. Halm. 211
[3] Maragustam Siregar. Mencetak Pembelajar menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam). 2010. Nuha Litera: Yogyakarta. Halm. 99
[4] Ahmad Syar’i. Filsafat Pendidikan Islam. 2005. Pustaka Firdaus: Jakarta. Halm. 101
[5] Abuddin Nata. Filsafat Pendidikan Islam. 2005. Gaya Media Pratama: Jakarta. Halm. 216
[6] Ibid. Halm.  212

[7] Maragustam Siregar. Mencetak Pembelajar menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam). 2010. Nuha Litera: Yogyakarta. Halm. 102
[8] Maragustam Siregar. Mencetak Pembelajar menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam). 2010. Nuha Litera: Yogyakarta. Halm. 103


 posted by imam satria PBI-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar