FILSAFAT ILMU-ILMU KEISLAMAN
“Refleksi Filosofis, Ilmu Pengetahuan
Dan Pendidikan Dalam Persefektif Islam”
A.
Filsafat Menurut Islam; Telaah Historis
dan Persefektif
Dalam sejarah islam, awal mula nama falsa>fah
dipakai untuk julukan yang diberikan kepada aktivitas ilmiyah pada akhir abad
ke-8 M. yang utamanya mengkaji teks-teks Yunani. Tidak sedikit para ulama yang
menolak falsa>fah pada masa itu, khususnya dari para fuqa>ha’,
muh}addithu>n dan para ulama sa>laf lainnya.[1]
Hal itu tidak lain karena adanya pertentangan konsep falsa>fah
dengan pandangan Islam sendiri. Namun setelah adanya proses – sebut saja –
islamisasi, namafalsa>fah dipahami sebagai istilah umum yang dapat
diterima sebagai salah satu cabang pengetahuan dalam Islam.
Asal usul namafalsa>fah pun
akhirnya tidak lagi dipermasalahkan, yang jelas falsa>fah dikenal
sebagai ilmu tentang Wujud.[2]Bahkan,
Ibn Taimiyah yang sebelumnya menolak keras, pada akhirnya menerima falsa>fah,
tapi dengan syarat harus berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang
dibawa oleh para Nabi.Falsafah yang demikian, ia sebut sebagai al-Falsa>fah
al-Shah}ih}ah atau al-Falsa>fah al-Ha>qiqiyyah.[3]
Meskipun disisi lain ia tetap saja menolak pemikiran Ibn Sina, al-Farabi dan
Ibn Rusyd yang dianggapnya masih bercampur dengan pemikiran Yunani.
Adannya penolakan terhadap filsafat
Yunani dan kemudian diterima oleh para ulama, menunjukkan bahwa Islam telah
mempunyai konsep filsafat yang bukan berasal dari Yunani. Yang menurut Halter,
bukti adanya filsafat identik dengan istilah h}ikmah menunjukkan
filsafat sudah ada dalam tradisi intelektual Islam. Alparslan Acikegence
menambahkan, konsep-konsep semisal dalam al-Qur’an tentang alam semesta,
manusia, penciptaan, ilmu, etika, kebahagiaan dan lain-lainnya adalah
konsep-konsep asas bagi spekulasi filosofis dalam memahami realitas dan
kebenaran. Semua itu dalam tradisi intelektual Islam tergolong dalam apa yang
disebut h}ikmah.[4]Dari
sini sangat jelas bahwa dalam Islam tradisi berpikir filosofis ada, dan kesan
berbeda dengan tradisi filsafat Yunnani.
Ini diperkuat oleh C.A.
Qadir.mengaitkan filsafat Islam dengan filsafat Yunani menurutnya adalah jauh
dari benar. Sumber pemikiran para pemikir Muslim yang asli adalah al-Qur’an dan
al-Hadith.Yunani hanya memberi dorongan dan membuka jalan untuknya. Fakta bahwa
Muslim berhutang pada Yunani adalah sama benarnya dengan fakta bahwa Muslim
juga bertentangan dengan beberapa pemikiran filsafat Yunani. Dalam masalah
Tuhan, manusia, dan alam semesta misalnya, para pemikir Muslim memiliki konsep
mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam filsafat Yunani.[5]
Polemik anatara pandangan apakah
filsafat dalam islam itu murni warisan yunani kuno ataukah produk islam
sendiri, memang jawabanya masih kontra fersi. Pandanagan-pandangan yang paling
umum dilontarkan Pertama, dari kalangan mayoritas orientalis adalah,
bahwa Filsafat Islam merupakan kelanjutan dari filsafat Yunani kun; ‘It is
Greek philosophy in Arabic garb’, demikian kata Renan, Gutas, dan Adamson
yang lebih suka menyebutnya sebagai filsafat berbahasa Arab (Arabic
Philosophy). Dibalik pandangan itu terselip rasisme intelektual bahwa
filsafat itu murni produk Yunani dan karenanya kaum Muslim sekadar mengambil
dan memelihara untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka. Pendapat
tersebut mungkin saja ada benarnya bila berpatok pada literatur sejarah
filsafat dunia, peran dan kedudukan filsafat Islam seringkali dimarginalkan,
atau bahkan diabaikan sama sekali. Mulai dari Hegel sampai Coplestone dan
Russell, filsafat Islam hanya dibahas sambil lalu, sebagai jembatan peradaban (Kulturvermittler)
dari Zaman Kegelapan ke Zaman Pencerahan.
Pandangan kedua menganggap,
filsafat Islam itu reaksi terhadap doktrin-doktrin agama lain yang telah
berkembang pada masa lalu. Para pemikir Muslim dituduh telah mencomot dan
terpengaruh oleh tradisi Yahudi-Kristen. Pendapat ini diwakili Rahib
Maimonides, Yang menurutnya semua yang dilontarkan oleh orang Islam dari
golongan Mu‘tazilah maupun Asy‘ariyah mengenai masalah-masalah
filsafat berasas pada sejumlah proposisi-proposisi yang diambil dari buku-buku
orang Yunani dan Syria yang ditulis untuk menyanggah para filosof dan
mematahkan argumen-argumen mereka.[6]
Dua sudut pandang tersebut di atas
menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.antara lain oleh Seyyed Hossein
Nasr. Menurutnya, Orientalis yang menganut perspektif Greco-Arabic
biasanya mengkaji filsafat Islam sebagai barang purbakala atau artifak museum,
sehingga pendekatannya melulu historis dan filologis. Di mata orientalis
semisal Van den Bergh, Walzer dan Gutas, filsafat Islam itu ibarat sesosok
mummi yang hidup antara abad ke-9 hingga ke-12 Masehi. Akibatnya, menurut Nasr,
para orientalis itu tidak tahu dan tak peduli akan fakta filsafat Islam sebagai
kegiatan intelektual yang terus hidup dari dahulu sampai sekarang, di
pusat-pusat keilmuan Dunia Islam.
Yang Ketiga adalah perspektif
revisionis yang memandang filsafat Islam itu lahir dari kegiatan intelektual
selama berabad-abad semenjak kurun pertama Islam. Bukankah perbincangan tentang
kemahakuasaan dan keadilan Tuhan, tentang hakikat kebebasan dan tanggung-jawab
manusia merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat, Munculnya kelompok
Khawarij, Syi‘ah,Mu‘tazilah dan lain-lain yang melontarkan pelbagai argumen
rasional disamping merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an jelas sekali mendorong
berkembangnya pemikiran filsafat dalam Islam. Hingga pada abad-abad berikutnya
berkembang pada seputar kedudukan logika, masalah atom, ruang hampa,
masa, dan yang tak terhingga dalam hubungannya dengan kewujudan Tuhan serta ke-aza>li-an
dan keabadian alam semesta.
Pandangan revisionis ini diwakili,
antara lain oleh M.M. Sharif, Oliver Leaman, dan Alparslan Açıkgenç.Filsafat
Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan berhenti dengan kematian Ibnu
Rusyd.Sebagai produk dialektika unsur-unsur internal Umat Islam itu sendiri,
bangunan filsafat Islam dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci al-Qur’an
yang menduduki posisi sentral dalam kehidupan spiritual-intelektual kaum Muslim.
Bagi Oliver Leaman, filsafat Islam merupakan nama generik keseluruhan pemikiran
yang lahir dan berkembang dalam lingkup peradaban Islam, terlepas apakah mereka
yang punya andil berbangsa Arab ataupun non-Arab, Muslim ataupun non-Muslim,
hidup di Timur Tengah ataupun bukan, berbahasa Arab, Parsi, Ibrani, Turki,
ataupun Melayu sebagai mediumnya, sejak zaman dahulu sampai sekarang ini.[7]
Leaman mencermati adanya cara pandang Islami yang membingkai itu semua sehingga
ia menambahkan, cakupan filsafat Islam itu luas dan kaya.
Tanpa menafikan adanya hubungan antara
filsasat Islam dan Yunani, MM. Sharif mengibaratkan pemikiran Islam dan Muslim
sebagai kain, sedangkan pemikiran Yunani sebagai sulaman. Meskipun sulaman itu
dari emas, kita hendaknya jangan menganggap sulaman itu kain.Ini artinya,
menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, meskipun di dalam filsafat Islam terdapat
unsur-unsur Yunani, tetapi filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani.[8]
Namun Pendapat lain mengatakan,
Perjalanan filsafat Islam dimulai secara resmi di abad ke-2 dan ke-3 H.
bersamaan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya, sekalipun
kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi
tersendiri. Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi (185-260 H).
pendapat ini lebih dekat pandangannya ke yunanisme. Seolah-olah filsafat itu muncul
dalam islam karna melalui proses penerjemahan filsafat yunani.
Namun terlepas dari adanya perbedaan
penjelasan mengenai filasafat islam itu murni hasil karya yunani atau tidak,
Menurut Peters, sejarah telah mencatat, karya-karaya aristoteles telah berhasil
dihimpun kedalam satu korpus madzhab dan ditambah dengan teks-teks neoplatonik
leh filosof islam semenjak abad ke-10 M. menurut pendapat ini, al-Farabi yang
paling awal menjadi filosof muslim.[9]
Meskipun Pendapat Peters di bantah oleh Ahmad Hanafi, menurutnya al-Kindi lah
yang pertama kali menjuluki filsafat kedalam islam.[10]diperkuat
oleh Hasyimsyah Nasution, bahwa al-Kindi adalah filosof muslim yang pertama
meberikan istilah filsafat islam.[11]
.
Perbedaan pandangan pandangan mengenai
sejarah pertama kali munculnya filsafat tidak hanya terjadi pada letak
historisnya, tetapi penamaannyapun masih diperslisihkan eksistensinya.apakah
filsafat itu Islam atau Arab. Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam,
kemudian berkembang hingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah
beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum
sejarawanpun banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta
pemikiran mereka. Para penulis menyebut mereka kaum filosof Islam, ada pula
yang menamakan bahwa mereka merupakan para filosof beragama Islam,
kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan Para Hikmah Islam (Fala>sifatul-Isla>m,
atau Al-fala>sifatul Isla>miyyin atau Hukuma’ul-Isla>m),
mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan
lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan bahwa para
ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain
tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan,
“Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan
nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam
dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan berada di bawah
pengayoman negara Islam”.[12]
Courban, seorang orientalis Perancis
ahli tentang Islam dan Iran mempertahankan istilah Filsafat Islam. Ia
mengatakan :
“Jika
kita berpegang pada penamaan Filsafat Arab, maka pemikiran itu menjadi sempit
bahkan keliru. Bagaimana kita bisa menempatkan pemikiran Nashir Khasru,
misalnya atau pemikiran Afdhul Kasyani dan para ahli pikir Persia (Islam)
lainnya yang hidup pada abad ke-11 hingga abad ke-13, mereka tidak menuliskan pemikirannya
kecuali dalam bahasa Persia. Jika sebutan ‘ Arab ‘ dalam zaman kita dewasa ini
mencakup pengertian politik dan kebangsaan dapat dibenarkan, pengertian itu
tidak bisa membawa kita ke pangkalan ilmu atau sastra. Lagipula saya sendiri
menolak mengkaitkan pengertian keagamaan dengan tanah air atau kebangsaan
tertentu. Karena itu istilah yang paling tepat dan benar ialah Filsafat Dalam
Islam atau Filsafat Islam atau Filsafat di Negeri-NegeriIslam , kalau penamaan
yang terakhir disebutkan terasa terlampau panjang dan dianggap kurang baik
untuk dijadikan istilah, saya tetap menolak memberikan predikat ‘ muslimah ‘ (musulman)
pada filsafat tersebut. Sebab penamaan itu masih tetap mencakup keyakinan
pribadi filosof yang bersangkutan, sedang filsafat islam mencakup segala
hal-akhwal”.[13]
Demikian juga pendapat Dr. Ibrahim
Madzakur dengan pernyataan bahwa penamaan filsafat Arab tidak berarti pemikiran
filsafat itu hasil karya suatu ras atau suatu bangsa. Ia lebih suka menyebut
Filsafat Islam, karena Islam bukan hanya aqidah atau keyakinan semata-mata,
melainkan juga peradaban dan sikap peradaban mencakup segi-segi kehidupan
moral, material, pemikiran dan perasaan. Jadi Filsafat Islam ialah segala studi
filsafat yang dilukis di dalam dunia Islam, baik penulisnya orang Muslim,
Nasrani ataupun Yahudi.[14]
Sebenarnya perbedaan istilah tersebut
hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimana pun hidup dan suburnya pemikiran
tersebut (filsafat), adalah di bawah naungan Islam, dan kebanyakan karyanya
ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan Filsafat Arab
ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil umat Arab semata-mata tidak benar,
sebab kenyataan menunjukan bahwa Islam telah mempersatukan berbagai umat dan
kesemuanya telah ikut serta dalam memberikan sumbangannya dalam filsafat
tersebut. Sedangkan kalau yang dimaksud dengan Filsafat Islam tersebut adalah
hasil pemikiran kaum Muslimin semata-mata juga berlawanan dengan sejarah,
karena mereka pertama-tama berguru pada aliran Nestorius dan Jacobitas
dari golongan Masehi, Yahudi dan penganut agama Sabi’ah, dan kegiatan mereka dalam
berilmu dan berfilsafat selalu berhubungan dengan orang-orang Masehi dan Yahudi
yang ada pada masanya.
Namun pemikiran-pemikiran filsafat pada
kaum Muslimin lebih tepat disebut Filsafat Islam, pengingat Islam bukan saja
sekedar agama, tetapi juga kebudayaan. Pemikiran filsafat sudah barang tentu
terpengaruh oleh kebudayaan Islam tersebut, meskipun pemikiran tersebut adalah
Islam baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya,
karena Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam
satu kesatuan. Dan dalam pemakaian istilah Filsafat Islam lebih banyak dipahami
dalam buku-buku filsafat, seperti an-Na>jat dan as-Syifa>
dari Ibn Sina, dalam buku al-Mila>l wan-Niha>l dari
as-Syihrisaani, dalam buku Akhba>r al-Huku>ma dari al-Qafi dan Muqadimah
Ibni Khaldun.[15]
Dengan demikian, filsafat yang muncul
dalam kehidupan Islam yang banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab adalah
Filsafat Islam, karena kegiatan pemikirannya bercorak Islam.Islam disini
menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran.Filsafat disebut Islami bukan karena
yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama Islam, atau orang
yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang membahas mengenai
pokok-pokok keislaman saja.Hakekat Filsafat Islam ialah akal dan
al-Quran.Filsafat Islam tidak mungkin tanpa akaldan al-Quran.Akal yang
memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan al-Quran juga
menjadi ciri keislamannya.Tidak dapat ditinggalkannya al-Quran dalam filsafat
Islam adalah lebih bersifat spiritual, sehingga al-Quran tidak membatasi akal
bekerja, akal tetap bekerja dengan otonomi penuh,[16]
Namun tetap dilandasi Al-Qur’an.
Akal dan al-Quran di sini tidak dapat
dipahami secara struktural, karena jika akal dan al-Quran dipahami begitu,
menyiratkan adanya hubungan atas bawah yang bersifat subordinatif dan
reduktif.maka antara satu dengan lainnya menjadi saling mengatas-bawahi, baik
akal mengatasi al-Quran atau sebaliknya al-Quran mengatasi akal. Jika al-Quran
mengatasi akal maka akal menjadi kehilangan peran sebagai subjek filsafat yang
menuntut otonomi penuh. Sebaliknya jika akal mengatasi al-Quran, terbayang di
sana bahwa aktivitas kefilsafatan Islam menjadi sempit karena objeknya hanya
al-Quran.
Oleh karena itu, Filsafat Islam adalah
akal dan al-Quran dalam hubungan yang bersifat dialektis.Akal dengan otonomi
penuh bekerja dengan semangat Qur’anik. Akal sebagai subjek, dan sebagai subjek
ia mempunyai komitmen, komitmen itu adalah wawasan moralitas yang bersumber
pada al-Quran. Akal sebagai subjek berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan
al-Quran memberikan wawasan moralitas atas pemecahan masalah yang diambil oleh
akal.Hubungan dialektika antara akal dan al-Quran bersifat fungsional.[17]
Secara umum, Filsafat Islam berbeda
dengan teologi (ilmu kalam) dari sisi metodologinya. Filsafat mendasarkan diri
pada metode burha>ni (kontekstual), sementara teologi pada jadalli.
Filsafat Islam berada pada semangat inkorporasi atau mendamaikan antara akal
dengan wahyu.Gabungan antara pemikiran liberal dan kepercayaan religius.Secara
ontologis filsafat Islam menyakini adanya realitas hierarkis yang terbentang
dari alam metafisik hingga fisik. Secara epistemologis filsafat Islam menyakini
akal, hati, indra dan teks suci sebagai sumber pengetahuan yang valid
Jadi jelaslah apa yang dikatakan
al-Akhwani, baahwa Filsafat Islam adalah pembahasan meliputi berbagai soal alam
semesta dan bermacam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang
turun bersama lahirnya agama Islam.
B.
Konsepsi Ilmu Pengetahuan Menurut Tradisi Pemikiran Islam
Dalam kajian filsafat, ada tiga unsur
utama yang tidak bisa dipisahkan, yaitu epistemologi, ontologi dan aksiologi.
Ketiganya saling berkaitan satu sama lain, dan saling menetukan arah pemikiran
filsafat. umumya dalam kajian filsafat yang di utamakan salah satu dari
ketiganya adalah unsur epistemologi. Bukan maksud menafikan yang lain. Tetapi
sepanjang mengartikan filsafat sebagai proses mencari pengetahuan, epistemologi
menjadi dasar awal yang dipakai.
Membicarakan episteme (sistem
pengetahuan), seperti yang telah dibahas sebelumnya, mau tidak mau, secara
fundamental harus bersentuhan dengan akal atau nalar (‘aql).[19]
secara umum, al-Jabiri mengkalsifikasi tipoogi nalar mejadi dua bentuk, dengan
mengikuti persefektif Andre Lalenda, yaitu nalar pembentuk atau aktif (al-‘aqlu
al-mukawwin) dan nalar terbentuk atau dominan (al-‘aqlu al-mukawwan).
Nalar aktif merupakan naluri yang dengannya manusia mampu menarik asas-asas
umum, berdasar pemahamannya terhadap hubungan segala sesuatu.Sedangkan nalar
dominan adalah sejumlah asas dan akidah yang dijadikan pegangan dalam
argumentasi (istidla>l).[20]
Jika yang pertama bersifat universal, hingga disebut dengan akal niversal (al-‘aqlu
al-kauni), maka yang kedua tidak universal, sebab ia menjadi sistem kaidah
yang dibakukan dan diterima dalam era tertentu.
Kadang kala, seseorang mampu melakukan
penalaran terhadap sesuatu, tetapi sulit untuk menyentuh setandar
kebenaran.Karena tidak mampu menyeimbangkan (singkronisasi) antra pernyataan
dengan kondisi realitas yang sebenarnya.[21]
Tujuan utama adanya akal yang dimiliki manusia adalah untuk berpikir, sejauh ia
berpikir pada sesuatu yang diaggapnya benar dan salah. Menurut Endang
Syaifuddin Anshari, Manusia seyogyanya adalah mahluk pencari kebenaran. Untuk
mencapai sebuah kebanaran harus memliki kompoonen-komponen yang menyertainya.
Komponen-komponen itu meliputi ilmu, filsafat dan agama (dalam hal ini islam).[22]
Ketiga komponen itu jika diterapkan bersama, niscaya akan memnghasilkan suatu
kesimpulan yang mendekati kebenaran. oleh karena itu, islam sangat menekankan
tiga aspek tersebut sebagai dasar rujukan untuk memperoleh pengetahuan.
Ilmu menempati kedudukan yang sangat
penting dalam ajaran islam , hal ini terlihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an
yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulya disamping
hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut
ilmu.
“sesungguhnya yang takut kepada allah diantara hamba
–hambanya hanyaklah ulama (orang berilmu). (QS 35:28)[23]
Disamping ayat-ayat Al Qur’An, banyak
juga hadith yang memberikan dorongan kuat untuk menuntut Ilmu. Antara lain
hadit yang diriwayatkan Imam Baihaqi,
“Carilah ilmu walai sampai ke negri Cina ,karena sesungguhnya
menuntut ilmu itu wajib bagisetuap muslim”[24]
Beberapa ayat dan hadith tentang
anjuran mencari ilmu menunjukkan betapa islam sangat memperhatikan sekali
berkembangnya ilmu pengetahuan. Diaspek yang lain, Filsafat islam mengakaji
dari berbagai hal didalamnya, termasuk diantaranya tentang ketuhanan, alam
gaib, serta realitas yang ada di dunia ini. Yang kesemuanya dibawah lingkaran
wahyu (Al-Qur’an) dan sunnah (hadith).[25]Posisi
akal sangat dominan perannya sebagai sarana memperoleh penegtahuan, tetapi
tetap dalam batah-batas koridor agama.
Dalam tradisi pengetahuan islam,
Epistemologi yang diapakai guna mendapatkan sebuah pengetahuan meliputi tiga
aspek berbeda. Yaitu epistemologi baya>ni (tekstual) ‘irfa>ni
(intuitif), dan burha>ni (kontekstual), [26]
ketiganya tersebut, konsep yang diterapkan mempunyai ciri has tersendiri dalam
memperoleh pengethaun.
1.
Epistemology Baya>ni.
Dalam sejarahyna, Munculnya kodifikasi
tadwin (kodifiasai massif ilmu pngetahuan)[27]
disinyalir sebagai babak baru transformasi episteme bayani dari wacana
kebahasaan menuju wacana diskursif. Periode tadwin ini telah mengantarkan
budaya arab kebudaya tulis (al-kita>bah). Dan penalaran (ad-dira>yah).
Diaman islam yang sebelumnya berada dalam budaya oral atau lisan (al-mush}a>fah}ah)
dan transmisi-replektif (ar-riwa>yah).[28]
Lebih jauh, epistemology baya>ni telah menjadai semacam persefektif (ru’yah)
dan sistem (manhaj) yang melandasi pemikiran sistematis dalam
menginterprestasi wacana (fi tafsiri al-khitab) dan memproduksi wacana (fi
intaj al-khitab).[29]
Menurut Mahmud Arif, mengutip dari
pendapatnya Ibn Manzur, Secara leksikal, terma baya>n mengandung
beragam arti, diantaranya (1) menimbang (al-was}l), (2) keterpilihan (al-fas}l),
(3) jelas dan terang (az}-z}ubu>r wat al-wud}u>h), (4) kemampuan
membuat terang dan jelas.[30]
Berdasarkan keragaman arti tersebut, Mahmud arif menyimpulkan, makna generic
dari term baya>ni adalah keterpilihan dan kejelasan. Yang berwujud
pada sebuah persefektif dan metode.[31]hal
ini, epistemologi baya>ni menjadi sebuah sitem pemikiran yang tidah
hanya sekedar mencakup arti tindakan memahamkan, tetapi juga segala sesuatu
yang mendasri tindakan memahami.
Ciri umum dari pemikiran baya>ni
adalah menempatkan ilmu-ilmu arab islam sebagai dasar pengetahuan istidla>li
murnai. Yaitu nahwu, balaghoh, fiqh dankalam.
Dan ilmu-ilmu inilah yang menjadi lokomutif bagi formulasi keilmuan naqliyah
murni dan keilmuan naqliyah-aqliyah.[32]Otoritas
teks yang sangat kuat juga menjadi perioritas utama dalam mencapai pengetahuan.
Salah satu tokoh yang terkenal epistemolog baya>ni ini adalah imam
Asy-Syafi’i, ia menjadi pioneer utama baya>niun yang menteorisasi
episteme bayani sebagaimana terformulasikan dalam pemikiran ushul fiqihnya.
Bahkan banyak kalangan terutama George A. Maqdisi menilai, Asy-Syafi’i adalah
pahlawan pertama aliran tradisionalisme bayani dan memiliki pengaruh besar di
belantika pemikiran dunia islam sejajar dengan dengan pengaruh aristoteles
dalam dunia pemikiran yunani kuno.[33]
Dengan pemikiran fundamentalnnya tentang empat perinsip dasar pengetahuan
islam, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. As-syafi’I juga merumuskan
kerangka pikir yang menjadi basis penting epistemologi baya>ni
Sekurang-kurang terdapat dua aspek pokok yeng terkandung dlam pemikirannya,
yaitu aspek hukum (legal) dan aspek teologi.[34]
2.
Epistemology ‘Irfa>ni
Salah satu determinan historis budaya
dan tradisi pemikiran arab islam adalah warisan klasik. Dalam konteks keilmuan,
produk determinan historis ini bisa dikenal denagn ‘ulu>mu al-awa>’il
(warisan keilmuan generasi terdahulu). Begitu banyak sumber-sumber warisan
klasik yang telah memebri kontribusi besar pemekaran budaya dan tradisi
pemikiran arab islam.[35]
Hanya saja sumber-sumber warisan klasik yang disinyalir telah menebar benih
tradisi hermes.yang didalamnya bisa dekleompokkan menjadi tiga arus
utama, yaitu (1) system kepercayaan zoroster dan manna yang
banyak dianut bangsa persi; (2) aliran as-s}a>bi’ah; (3)
aliran-aliran filusuf. Dari antara isu sentral yang digulirkan oleh tradisi
“hermes”[36]
dan budaya Persia adalah paham dualitas ekstrim antara tuhan dan materi, antara
kebaikan (cahaya) dan keburukan (kegelapan).
Paham keterkaitan antara dunia ‘atas’
dan dunia ‘bawah’, begitu juga paham ‘penyucian jiwa’ dan asal muasl jiwa dari
anasir ketuhanan, paham ilmu dan agama, serta orientasi kehidupan akhirat
dengan kepekaan terhadap keindahan bumi dengan citra keindahan langit, telah
membawa perubahan mendasar terhadap struktur nalar pemikiran islam
(arab-islam). Hingga kemudian meunculkan paham gnostik (al-‘aql al-mustaqil)
yang dikenal dengan konsep metode ‘irfani.[37]
Terma al-‘irfa>ni dalam
kata-kata bahasa arab mengandung arti pengetahuan (al-ma’rifah al-‘ilmu).
Terma tersebut popular dekalangan untuk menunjukkan arti “pengetahuan termulia
yang di hujumkan kelubuk hati melalui carakha>sf (penyigkapan mata
batin) atau ilha>m.[38]
Para penagnut nalar gnostik (metode ‘irfa>ni) beranggapan bahwa
pengetahuan yang ia miliki sebagai bentuk ilham atau iluminasi setelah
bersatu dengan daya-daya samawi yang tersembunyi. Ia menambahkan, bahwa ada
perbedaan antara pengetahuan yang diperoleh melalui indra, rasio, atau keduanya
dengan pengetahuan yang diperoleh melalui khu>sf. ia memandang bahwa
jenis pengetahuan yang dipeoroleh lebih tinggi dan mulia.
Aliran metode epistemologi ‘irfa>ni
dalam dunia islam umumnya merupakan kalangan tasawuf. yang kemudian bermetamorfosis
menjadi taswuf sunni dan taswuf falsafai.[39]
Tasawuf sunni pemikirannya cendrung moderat, namun tetap berpegang teguh pada
koridor syari’at dan dominan ciri-ciri moralnya. Sedangkan tasawuf
falsafi, konsep dan praktek sufistiknya banyak dipengaruhi oleh aliran
mistik-filosofis.Dan acapkali menyimpang dari tuntunan syari’at.
3.
Epistemologi burha>ni
Secara historis, menurut Mahmud Arif,
Masuknya pemikiran logika dan filsafat Aristotelian ke dalam budaya dan tradisi
pemikiran islam dinilai berlangsung lebih belakangan bersamaan dengan periode
kodifikasi (tadwin). Konon, dibalik gerakan tadwin terselubung maksud
dari khalifah Al-Makmun (813-835 M.) untuk mengembangkan wacana baru yang bisa
meng-counter ekspansi pengaruh gerakan-gerakan intelektual-politis yang
dianggap akan menagncam kelangsungan kekuasaanya.[40]
Strategi politik Al-Makmun dalam
mengatasi memanasnya hubungan antara ‘abba>siyyu>n dan ‘ala>wiyu>n
ini telah pada glorifikasi pemikiran Aristotelian, yakni penegakan nalar
universal (al-‘aql al-kauni), yang nayata-nayata bersebrangan dengan
nalar gnostik yang banyak didukung oleh kalangan ‘alawiyun (khususnya
sy’ah isma’iliyah). Hal ini merampabah pada pergeseran format rasionalisasi
keagamaan, Politik dan budaya, yang secara khusus ilmu pengetahuan.
Secara bahasa, al-burha>ni
mempunyai arti argumen yang tegas dan jelas. Kemudian jika diperluas, burha>ni
merupakan terminologi yang diapakai dalam sebuah metode ilmu pengetahuan untuk
menunjukkan arti proses penalaran yang menetapkan benar tidaknya suatu
proposisi melalui cara deduksi.[41]kemudian
ciri umum dari metode ini yaitu memadukan antara persefektif pemikiran dengan
persefektif realitas tertentu. Secara geneologis berhubungan erat dengan
tradisi pemikiran Aristotelian.
Sstem epistimologi burha>ni
bertumpu sepenuhya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, baik berupa
indra, pengalaman, maupun daya rasional, dalam upaya memperoleh pengetahuan
tentang semesta. Secara solidasi, sistemik dan postulatif.[42]
Disamping itu, terdapat tiga perinsip penting yang melandasi konstruksi
epistimologi burha>ni, yaitu (1) rasionalisme (al-aqliniyah),
(2) kausalitas (as-saba>biyah), dan (3) esensialisme (al-mahiyah).[43]Yang
dikembangkan lewat penggunaan metode utama yaitu, deduksi dan induksi.sedangkan
pengetahuan adakalanya diperoleh melalui indra dan juga adakalanya melalui
rasio.
Epistemologi burha>ni dikenal
oleh orang islam melalu penerjemahan filsaftnya aristoteles yang dikenal dengan
metode demonstratif. Dalam penuturan aristoteles, Yang dimaksud dengan metode
demostratif adalah silogisme ilmiah, yakni silogisme yang apabila yang apabila
seseorang memiliknya maka ia akan memiliki pengetahuan. Menurutnya silogisme
merupakan seperangkat metode berpikir yang dengannya seseorang dapat
menyimpulkan pengetahuan baru dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya
(kesimpulan dari berbagai premis), terlepas pengetahuan itu benar atau salah
dan sesuan dengan relitas atau tidak.
Metode dasar yang diambil dalam metode
ini adalah silogisme, yakni mengambil kesimpulan dari premis mayor dan minor
yang keduanya mengandung unsur yang sama, dengan sebutan middle term (al-ha>dd
al-ausath). Sebuah silogisme baru dikatakan demonstratif apabila
premis-premisnya didasarkan bukan pada opini, melainkan pda kebenaran yang
telah teruji atau disebut kebenaran utama (primary truth), Karena
apabila premis-premis benar maka akan menghasilkan kesimpulan yang benar. Dalam
sejarahnya aliran episteme ini telah melahirakan beberapa nama besar filusuf
muslim, seprti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan lain-lain.
C.
Aktualisasi Filsafat Menuju Peradaban
Keilmuan; Tinjawan Terhadap
pengembangan ilmu-ilmu keislaman dan Lembaga Pendidikan Islam.
Pendidikanislampada hakikatnya dalam teori dan peraktek selalu
mengalami perkembanagn, hal ini disebabkan karena pendidikan islam secara
teoritik memiliki sumber dasar dan rujukan yang tidak hanya berasal dari nalar
(akal), melinkan juga wahyu.[44]Kombinasi
nalar dengan wahyu ini adalah ideal, karena memadukan antara potensi akal
manusia dengan tunutunan firman Allah Swt. Terkait dengan masalah pendidikan.
Kombinasi ini menjadi ciri khas pendidikan islam yang tdiak dimilki oleh konsep
pendidikan pada umumnya yang hanya mengandalkan kekuatan akal dan budaya
manusia.
Harusnya dengan keterjalinan antara dua
sumber akal dan wahyu tersebut dapat mengahsilkan konsep pemikiran islam yang
sembpurna. Hal itu dibuktikan secara historis melalui upaya penggabungan konsep
dan pemikiran pendidikan islam yang berjalan dimasa lalu dengan kebanyakan
karya tulis para ulama tentang pendidikan yang sebagian besar masih bisa
diakses hingga kini. Hanya saja, teori-teori pendidikn mereka seakan tenggelam
karena masuknya trema-terma baru yang muncul belakangan ini, terutama yang
berasal dari refrensi barat.Sehingga memunculkan kesan deolah-olah yang
memunculkan teori pendidikan pertama kali adalah seluruhnya orang barat.
Pada saat yang sama, pemikiran
pendidikan islam klasik masih dipahami dalam kontek klasik (back to basic),
tidak ada proses aktualisasi kekinian, maka tidak berlibahan, jika dikatakan
bahwa sampai saat ini tradisi ilmiah dan hazanah intelektul umat islam masih
mengalami kemunduran dan terbelakang, bila dibandigkan kondisi keemasan islam dimasa
lalu.
Kondisi tersebut membuka problem
sekaligus tantangan bagi pendidikan islam kedepan, agar dilakukan
rekontekstualisasi dan rekonseptualisasi pendidikan yang relevan dengan
kebutuhan saat ini. Bila tidak dilakukan, maka hazanah intelketual islam dibidang
pendidikan akan semakin ketinggalan zaman dan menjadai setagnan.
Tafsir QS al-Dzariyat (51) sering
digunakan untuk menunjukkan bahwa tujuan umum pendidikan islam adalah untuk
membentuk manusia yang beribadah, karena “Aku (Tuhan) tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-ku”.[45]Sepatutnya
ayat tentang ibadah ini dipahami secara konfrehensip, tidak dipersempit
maknanya. Lazimnya ibadah dimaknai sebagai pemenuhan proses penghambaan atau
pengabdian seorang mahluk kepada sang Halik melalui berbagai macam ritual yang
umunya menjadi ajaran islam.[46]
Pendidikan juga merupakan proses yang seharusnya tidak dipisahkan dari kategori
ibadah. Karena bagaimanapun juga tanpa pendidikan, seorang tidak akan mampu
mencapai ibadah yang hakiki.
1.
Problem Epistemologi
Persoalan yang terjadi dalam dunia pendidikan
islam telah berjalan cukup lama. Terutama sekali, semenjak madrash Nizha>miyah
mempopulerkan ilmu-ilmu agama dan mengesampingkan logika dan filsafat.[47]Mengakibatkan
terjadinya pengesampingan ‘ulu>mual-diniyah dengan ulu>mual-aqliyah.Terlebih
lagi menuntut ilmu agama itu adalah fardhu ‘ain sedangkan menuntut
ilmu-imu non-agama merupakan fardhu kifa>yah.Hal ini menimbulkan
suatu keyakinan, bahwa mempelajari agama sebagai kewajiban seraya mengabaikan
pentingnya mempelajari imu-ilmu non-agama.[48]
Akibat pola pikir pendidikan yang dekotomis ini, berimplikasi pada sebuah
disharmoni relasi antara ayat-ayat ilahiyah dengan ayat-ayat kauniyah, antara
iman dengan ilmu, antara ilmu dengan amal, antara dimensi duniawi dengan ukhra>wi,
dan dimensi ketuhanan (teosentres) dengan kemanusiaan (antroposentris).
Selain itu, persolan yang membudaya dan
sulit dihilangkan dalam tradisis keilmuan pendidikan islam saat ini adalah pola
pikir yang menjadi
tendensi normatif dan deduktif.[49]terlihat ketika praktek pendidikan
islam yang saat ini lebih mengarah pada pola mengajar (teaching, ta’lim)
dari pada sistem mendidik (education, tarbiyah, dan ta’dib). Kedua sitem
mtersebut jelas-jelas perbedaannya sangat besar. Aktifitas mengajar dibatasi oleh
ruang kelas dan peranan guru yang amat besar, sedangkan mendidik tidak harus
berpatokan pada tersebut.
Bergesernya
praktek pendidikan menjadi identik dengan mengajar ini juga menimbulakan
penekanan yang tidak seimbang pada aspek pengetahuan. Seakan proses
pembelajaran hanya memperioritaskan pada kemampuan kognitf saja ktimbang
kemampuan psikomotorik dan afektifnya. Peserta didik menirima pengetahuan hanya
berdasar pada sistem transfer of knowledge(penyampaian
pengetahuan) dari orang yang dipandang lebih tahu (guru). Sementara
dimensi sikap dan (afektif) dan keterampilan (psikomotorik) kurang
diperhatikan.[50]
Inilah yang kemudian pendidikan islam saat ini berjalan monoton. Sehingga
asumsi yang dicapai, lulus sekolah dapat mendapatkan ijazah dan menerima nilai
yang baik.
2.
Relefansi burha>nidalam membangun
paradigma keilmuan; implementasi pada
sistem pendidikan pola integrasi-interkoneksi
Pendidikan pada dasarnya berkenaan dengan
keyakinan akan eksistensi pengembangan sifat-sifat hakiki kemanusiaan yang
sarat dengan nuansa moral. Peranan pendidikan sebagai sarana pengembangan
kemanusiaan kea arah lebih baik, selalu terakumulasi kedalam tujuan yang di inginkan.baik
untuk jangka pendek maupun jangka panjang, Sesuai dengan kebutuhan seseorang
atau sekelompok orang yang terlibat didalamnya. Dapat dikatakan, bahwa
perubahan ka arah lebih baik itu merupakan esensi dari pendidikan itu sendiri.[51]
Sehingga jika tanpa ada perubahan, menurut tujuan-tujuan pendidikan yang telah
di tetapkan, sama artinya tidak ada proses kependidikan.
Dalam konteks pendidikan islam,
penciptaan manusia ka arah perubahan yang lebih baik juga menjadi tujuannya.
Upaya sadar yang dilakukan untuk menjadikan manusia sebagai manusia utuh
(humanis) adalah tugas utama pendidikan islam. Pendidkan islam sangat
menekankan dimensi moral yang selalu merujuk pada ajaran agama. Jika suatu
saat, terjadi transformasi sosial akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka disitu peranan pendidikan islam menjadi sangat kuat. sebab,
tugas utama pendidikan islam dalam meng-rekontruksi sosial, menjadi tanggung jawab
utama yang harus dipenuhi.
Tetapi, Seharusnya Pendidikan islam
saat ini tidak hanya bergerak dalam tataran dimensi sosial menyangkut moral
saja, namun perlu juga berorientasi pada arah pengembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan secara umum. Agar mampu berinteraksi dengan perkembangan jaman yang
semakin maju.pilar utama yang menjadi landasan spiritual umat islam, selalu
menjadi sepirit agar pendidikan islam saat ini dapat bersaing dengan
berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan (secience).[52]
Untuk itu, untuk membangun kembali dari keterlelapan yang panjang, pendidikan
islam perlu merekonstruksi kembali sitem dan motode yang dipakai, Seperti
halnya kemajuan islam yang pernah dirasakan di jaman dahulu.
Meminjam bahasanya Abdurrahman Assegaf,
sebagai uapaya untuk mendatangkan kembali kemajuan dan peradaban islam, maka
perlu adanya internalisasi motodelogis yang bersifat Hadha>ri (peradaban)
terhadap keilmuan pendidikan islam.[53]
Salah satunya metode burha>ni atau lebih gampangnya disebut metode
demonstratif, metode ini merupakan aktifitas kognitif yang berbentuk iferensi
rasional. Yaitu penggalian ilmu pengetahuan secara rasional, redikal serta
sistematis dan konfrehensif.[54]
Dari beberapa metodelogi yang dikembangkan ilmu pengethuan islam jaman klasik,
metode burha>ni dipandang paling akurat jika dijadikan sebagai
sistem paradigma dan metodelogi ilmiah dalam pendidikan islam saat ini. Selain
metode ini telah meimiliki sejarah panjang dimasa keemasan islam, perluanya
aktualisasi metode burha>ni saat ini lebih disebabkan problematika
pendidikan islam kini kian hari kian paradoksal.
Burha>ni merupakan metode logika atau
penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari
sebuah pernyataan teori ilmiah dan filosofis dengan memerhatikan keabsahan dan
akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah.[55]Seharusnya,
menurut Menurut Amin Abdullah, adanya penegtahuan umum yang meliputi
bidang-bidang ilmu pengetahuan terpisah seperti biologi, fisika, sosilogi,
geografi, matematika, agama dan lain sebaginya,[56]
merupakan suatu bidang yang perlu diakumulasikan secara integratif dan
keterkaitan. Sehingga mampu menghasilkan suatu kesimpulan ilmiah yang bersifat burha>ni.
Apa yang dikatakan aristoteles, tentang
pencarian penyebab-penyebab objek yang diselididiki juga menjadi tugas ilmu
pengetahuan umumnya pendidikan islam saat ini. penyebab tersebut terdiri empat
macam yang semuanya harus disebut, yaitu Prtama, penyebab efisien (efficient
cause/fa>’il), adalah faktor yang menjalankan kejadian. Kedua,
peneyabab final (final cause/gha>yah), yaitu tujuan yang menjadi arah
kejadian.Ketiga, penyebab material(material cause/madah), ini
menjadi bahan dar mana benda dibuat. Dan yan keempat, penyebab formal (formal
cause/s}urah), yaitu, merupakan bentuk yang menyusun bahan.[57]Dengan
kempat tersebut, secara lengkap suatu peristiwa ilmu pengetahuan dapat
dijelskan dengan hasil ilmiah.
Paradigama pendidikan saat ini
menggambarkan, seolah-olah ilmu pengetahuan umun secara tegas sudah terpisah
dengan ilmu pengetahuan agama.Jika ilmu pengetahuan umum adalah produk hasil
dari ilmuan-ilmua barat, dan ilmu pengetahuan agama merupakan produk hasil
ajaran agama.Tentunya pandangan dekotomis ini sangat bertentangan dengan
sejarah perjalananya ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan demikian, untuk
menyeimbangkan kembali persepsi dekotomis antara ilmu pengetahuan agama dan
umum, perlua danya integrasi-interkonektif yang bersifat burha>ni.
Karena, Jika semuanya sudah merujuk pada konsep pengembangan tersebut, tentu
ini menjadi dinamika baru, untuk membangun kembali hadha>ri
(peradaban) islam yang sudah lama terlelep.
D.
Penutup
Hakiktanya, ilmu pengatahuan dalam
islam tidak bisa dipisahkan dari filasafat. Terlepas adanya persepsi filsafat
itu yunani (hellenisme) atau islam murni. Karena kenyataanya, konsep
filsafat dalam islam sedikit ada persamaan metode dengan yunani. tetapi disisi
lain, islam memiliki konsep sendiri dimana kerangka konseptualnya sangat
berbeda dengan yunanian. Sejatinya, yang membedakan corak pengetahuan islam
dengan yang lain adalah, dimensi teologis (wahyu) yang selalu menjadi acuan dan
sumber utama filsafat islam.
Meskipun filsafat islam telah diakui
keberadaannnya, Namun sebagian ada pula yang menolaknya. Penolakan ini tidak
lepas dari doktrin dan pandangan yang dimiliki. Apakah segala pengetahuan dalam
islam seluruhnya harus filosofis atau tidak. Tentunya, Ini menimbulkan suatu
dinamika pandangan yang berbeda, dan berdampak pada pola sistem pengetahuan
(epistem) dalam islam itu sendiri. Pandanagn yang mengakui sistem penbgetahuan
diperoleh melalui sistematika filosofis berhujung pada adanya suatu konsep yang
dinamkan burha>ni. Pandanagn ini mengatakan bahwa pengetahuan bisa
diperoleh melalui akal dengan cara sistematis, redikal, konfrehensif dan
berpatokan pada Al-Qur’an dan hadith.
Sementara pandangan yang mengakui bahwa
pengetahun bisa ditempuh dengan jalan penyucian jiwa dan penyatuan terhadap
sifat-sifat ketuahanan, sebagian besar dikumandangkan oleh kelompok tasawuf
yang mengakui konsep metodeogi ‘irfa>ni. ia mengatakan bahwa
pengetahuan bisa diperoleh melalui ilha>m dengan cara zu>hu>d
dan menyatukan diri terhadap tuhan. Adapun Kelompok yang mayoritas di dominasi
oleh kaum tradisional, juga memiliki pandangan berbeda dalam memperoleh
pengetahuan.Ia lebih memperioritaskan teks guna menemukan sebuah interpretasi
pengetahuan. Penempatan ilmu-ilmu arab dalam membangun pengetahuan menjadi
tradisi yang kian berkembang, Sehingga memunculkan sebuah motodelogi baya>ni
dalam diskursus yang dikembangkan.
Beberapa konsep pengetahuan tersebut
berhujung pula pada sebuah implikasi paradigma pendidikan islam saat ini,
khususnya pendidikan islam di indonesia. utamanya metodelogi baya>ni
yang menjadi basis utama kaum tradisional. Terkesan normatifisme tekstual
sangat dominan, sehingga terjadinya paradoksi antara perkembangan pengetahuan
pendidikan islam dengan pengetahuan umum sangat kuat. Maka, menjadi hal penting
jika dilakukan rekonsntrukturalisasi dan rekonseptualisasi ideologi pendidikan
yang lebih bersifat demonstratif (burha>ni), Guna membangun kembali
hazanah peradaban ilmu pengethuan islam (hadha>ri) kedepan yang lebih
relefan.
BIBBLIOGRAFI
Abdullah, Amin, Pengantar, Islamic
studys; Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta, Suka
Pers, 2007)
AgamaR.I,,Departemen,Al-Qur’an Dan
Terjemahnya, (Jakarta, Pentafsir al-Qur’an, 1971)
Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat
Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1988)
A. Maqdisi, George,Cita Humanism
Islam,(Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2005)
A. Maqdisi, George, The Rises Of
Humanism In Classical Islam And The Christian West; With Special Reference To
Scholastism, (Edinburgh, Edinburgh University Pers, 1990)
Arif, Mahmud, Pendidikan Islam
Transformatif, (Yogyakarta, LKIS, 2008)
Assegaf, Abd. Rahman,“Membangun
Format Pendidikan Islam Di Era Globalisasi” Dalam Pendidikan Islam Dan
Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta, Al-Ruzz, 2004)
Asy-‘Arie (al), Musa, Filsafat
Islam; Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis, Perspektif,
(Yogyakarta, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992
Bertens, K.,Sejarah Filsafat Islam,
(Yogyakarta, Kanisius, 1999)
Bugir, Haidar,Buku Saku Tasawuf,
(bandung, Mizan, 2005)
C.A.,Qadir, Philosophy and
Science in the Islamic World, (London, Routledge, 1988)
Fahmy Zarkasyi, Hamid, “Framework
Kajian Orientalis dalam Filsafat Islam”, Jurnal(Jakarta, ISLAMIA, 2005)
Hanafi, Ahmad,Pengantar Filsafat
Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996)
Hidayat, Komaruddin,Memahami Bahasa
Agama; Sebuah Kajian Hermeneutic (Jakarta, Paramadinan, 1996)
Iraqi (Al), M. Athif,An-Naz’ah
Al-‘Aqliyah Fi Falsafat Ibn Rusyd, (Kairo, Dar Al-Ma’arif, t.t)
Jabiri (Al), M. Abd., Formasi Nalar
Arab, Terj. Imam Khoyri, (Yogyakarta, Ircisod, 2003)
Jabiri (Al), M. Abd.,Bunyat Al-Aql
Al-Arabi, (Bairut: Al Markaz Ats-Thaqafi Al-‘Arabi, 1993)
Jabiri (Al), A. Abd.,Tragedy
Intelektual, terj. Afandi Abdillah (Yogyakarta, Pustaka Alief, 2003)
Muhmidayeli, Membangun Paradigma
Pendidikan Islam, (Pekan Baru, Penerbit UIN Pasca Sarjana, 2007)
Mundiri, Logika, (Jakarta,
Rajawali Pers, 2001)
Nasr, Science and Civilization in
Islam, (Cambridge, Islamic Text Society, 1987)
Nasution, Hasyimsyah,Filsafat Islam,
(Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001)
Nyubi, Nazih,Political Islam;
Religion And Politics In The Arab Word, (London, Reutledge,1991)
Nor Wan Daud, Wan
Mohd, The Konsep Of
Knowledge In Islam, (London, Mansel, 1989)
Suyuti (Asy), Jalaludin,Jaami’u
Ashogir (t.k., t.p. t.t.)
Syaifuddin Anshari, Endang,Ilmu
Filsafat Dan Agma, (Surabaya, Bina Ilmu, t.t)
Walbridge, Jhon,Mistisme Filsafat
Islam, Keraifan Iluminatif Quthb Al-Din Al-Syirazi, (Yogyakarta, Kreasi
Wacana, 2008)
Widodo, Kamus Ilmiah Popular
(Yogyakrta, Absolut, 2002
Zaprulkhan, Epistemology Burhani
Dalam Pemikiran Para Filosof Muslim, Jurnal, Arah Baru Study Islam
(Yogyakarta, Aruzz Media Group, 2008)
[2]Hamid
Fahmy Zarkasyi, “Framework Kajian Orientalis dalam Filsafat Islam”,
Jurnal(Jakarta, ISLAMIA, 2005) hal 57
[4]Namun, menurut Hamid
Fahmy Zarkasyi, setelah datangnya gelombang Hellenisme, istilah hikmah terdesak
oleh istilah falsafah, yang ditandai dengan adanya penerjemahan
karya-karya filosof Yunani. Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Jurnal Framework
… hal. 57.
[9]Lihat, Jhon Walbridge, Mistisme Filsafat
Islam, Keraifan Iluminatif Quthb Al-Din Al-Syirazi, (Yogyakarta, Kreasi
Wacana, 2008) hal 1
[16]Musa
al- Asy-Arie, Filsafat Islam; Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis,
Historis, Perspektif, (Yogyakarta, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992) hal
15
[19]
Zaprulkhan, Epistemology Burhani Dalam Pemikiran Para Filosof Muslim,
Jurnal, Arah Baru Study Islam (Yogyakarta, Arruz Media Group, 2008) hal
235
[20]Lihat,
M. Abed Al-Jabiri, Formasi Analr Arab, Terj. Imam Khoyri, (Yogyakarta,
Ircisod, 2003) hal 31-61
[27]
Tadwin adalh memberikan fungsi historis-politis tertentu, juga memeberikan
pengaruh intelektual yang sangat kuat terhadap pemikiran arab-islam (masa
keemasan), bahkan hingga masa-masa berikutnya, lihat Nazih Nyubi, Political
Islam; Religion And Politics In The Arab Word, (London, Reutledge,1991) hal
10-11
[28]Lihat
M. Abd. Al-jabiri, Bunyat Al-Aql Al-Arabi, (Bairut: Al Markaz
Ats-Thaqafi Al-‘Arabi, 1993) hal 14
[34]Lihat
George Maqdisi, The Rises Of Humanism In Classical Islam And The Christian
West; With Special Reference To Scholastism, (Edinburgh, Edinburgh
University Pers, 1990) hal 12
[36]
Konon, istilah hermes dalam mitologi yunani adalah nama dewa yang menjadi
perantara antara sang maha dewa (tuhan) dengan manusia. Perantara
adantara dunia dunia ‘langit’ dengan ‘bumi’. Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutic (Jakarta, Paramadinan, 1996) hal
125-126
[39]
Haidar bugir mengemukakan tahap-tahap perkembangan tasawuf di dunia islam
meliputi: (1) tahap zuhud (asketisme) (abad ke I hingga ke II H.); (2) tahap
tasawuf (abad ke III sampai ke IV H.), (3) tahap tasawuf falsafi (abad ke V-VI
H.) dan (4) tahap tarekat (abad VII H.) selanjutnya, lihat Haidar Bugir, Buku
Saku Tasawuf, (bandung, Mizan, 2005) hal 98-103
[43]
Lihat, M. Athif Al-Iraqi, An-Naz’ah Al-‘Aqliyah Fi Falsafat Ibn Rusyd,
(Kairo, Dar Al-Ma’arif, t.t) hal 62-63
[46]Termasuk
dalam ibadah mahdah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan
ibdah yang ghairu makhdah cakupannya lebih luas, seperti solidaritas
sosial, etika politik, kewajiban menuntut ilmu, masalah pergaulan, kepedulian
terhadap lingkungan sekitar, kerja sama antar bangsa, penegmabngan SDM dan
lain-lain. Lihat Abd. Rahman Assegaf, Filsafat…, hal 21.
[48]Abd.
Rahman Assegaf, “Membangun Format Pendidikan Islam Di Era Globalisasi” Dalam
Pendidikan Islam Dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta, Al-Ruzz, 2004)hal
18
[49]
Normatif menurut Kamus
Ilmiah Populer Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat keharusan menurut
norma, sedangkan deduktif adalah pola-pola pemikirana umumke khusus. Lihat,
Widodo, Kamus Ilmiah Popular (Yogyakrta, Absolut, 2002) hal 491. Dan Abd. Rahman
Assegaf, filsafat....hal 22.
[51]
Lihat, Muhmidayeli, Membangun Paradigma Pendidikan Islam, (Pekan Baru,
Penerbit UIN Pasca Sarjana, 2007) hal 4
[52]
Lima pilar tersebut adalah syahadaht, sholat, puasa, zakat da haji yang
tertuang dalam rukun islam.
[54]A.
Abd. Al-jabiri, Tragedy Intelektual, terj. Afandi Abdillah (Yogyakarta,
Pustaka Alief, 2003) hal 247
[55]
Zaprulkhan, Epistemology Dalam Pemikiran Filosof Muslim, Jurnal, Arah
Baru Studi Islam, hal 242.
[56]Amin Abdullah, Pengantar, Islamic
studys; Dalam Paradigama Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta, suka
pers 2007) hal vii
ALIRAN-ALIRAN UTAMA
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Dalam pertumbuhannya,
filsafat sebagai hasil penilaian para filosof, telah melahirkan berbagai macam
pandangan. Adakalanya, beberapa pandangan saling mendukung, dan adakalanya pula
berbeda dan saling berlawanan. Perbedaan itu antara lain disebabkan oleh
pendekatan yang dipakai berbeda-beda, sehingga menghasilkan kesimpulan yang
berbeda pula.
Dalam filsafat, dikenal
dengan beberapa aliran atau pandangan antara lain Idealisme, Realisme,
Materialisme, Pragmatisme, dan lain-lain. Aplikasi aliran-aliran filsafat
tersebut dalam pendidikan kemudian menghasilkan filsafat pendidikan. Dari
kajian tentang filsafat pendidikan, dihasilkan beberapa teori atau aliran-aliran
filsafat pendidikan. Aliran-aliran filsafat pendidikan Barat yang berkembang
antara lain: Progressivisme, Essensialisme, Perennialisme, Rekonstruktivisme,
dan Eksistensialisme.
Dalam dunia pendidikan
Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat pendidikan Islam, yaitu:
(1) aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah al-Ghazali, (2) aliran Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan (3) aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.
(1) aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah al-Ghazali, (2) aliran Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan (3) aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.
Pemetaan demikian antara
lain didasarkan pada konsep keilmuan yang melandasi aliran pemikiran pendidikan
Islam tadi. Menariknya, konsep keilmuan ternyata memang diakui sebagai salah
satu tema sentral dalam spektrum tradisi intelektual Islam. Berdasarkan “peta”
aliran itu, kita dapat menyimpulkan bahwa khazanah pemikiran pendidikan Islam
tidaklah monolitik dan uniform, melainkan variatif dan plural sebagaimana dalam
tradisi pemikiran keislaman lainnya.[1]
1. ALIRAN KONSERVATIF (AL-MUHAFIDZ)
Tokoh-tokoh aliran ini
adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar
al-Haitami, dan al-Qabisi.
Aliran al-Muhafidz
cenderung bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian
sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan
saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak.[2]
Al-Ghazali
mengklasifikasikan ilmu menjadi:
a.
Berdasarkan pembidangannya,
ilmu dibagi menjadi dua bidang:
a)
Ilmu ushul (ilmu
pokok). Contoh: ilmu al-qur’an, sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat dan ijma.
b)
Ilmu furu’ (cabang).
Contoh: fiqh dan akhlak.
c)
Ilmu pengantar (mukaddimah).
Contoh: ilmu bahasa dan gramatika.
d)
Ilmu pelengkap (mutammimah).
2) Ilmu ghoiru syar’iyyah,
yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama’ atau intelektual muslim,[4] terdiri atas:
a)
Ilmu terpuji. Misalnya:
ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
b)
Ilmu yang diperbolehkan
(tak merugikan). Misalnya: kebudayaan, sastra, sejarah, puisi.
c)
Ilmu yang tercela
(merugikan). Misalnya: ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari
filsafat.
b.
Berdasarkan status hukum
mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi:
1) Ilmu yang fardlu ‘ain,
yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Contoh: ilmu
tentang tata cara shalat, dan puasa. Kemudian, ilmu yang fardlu ‘ain ini, oleh
al-Ghazali, dibagi menjadi dua yaitu: Ilmu Mu’amalah dan ilmu Mukasyafah.
2) Ilmu yang fardlu kifayah,
yakni ilmu yang bila sebagian umat Islam telah mempelajarinya, maka yang lain
tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya. Contoh: ilmu kedokteran, ilmu hitung
dan perdagangan.
Al-Ghazali menegaskan bahwa
ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan
kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima
amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini
sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan
baik buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran
al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
a. Kegiatan menuntut ilmu
tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
b. Teori ilmu ilhami
sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode etik
peserta didik.
c. Tujuan agamawi merupakan
tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
d. Pembatasan term al-‘ilm
hanya pada ilmu tentang Allah.
Sedangkan menurut Ibnu
Jama’ah, para penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan al-Quran,
menghafal dan menafsirkannya. Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu
diprioritaskan adalah Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan
Sharaf.
Dapat ditarik kesimpulan
bahwa pemikiran utama aliran konservatif antara lain:
a. Ilmu adalah ilmu al-hal,
yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa membawa manfaat di akhirat.
b. Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan
adalah sia-sia.
c. Ilmu hanya bisa diperoleh
melalui rasio.
2. ALIRAN RELIGIUS-RASIONAL (AL-DINIY
AL-‘AQLANIY)
Tokoh-tokoh aliran ini
adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih. Aliran ini
dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan
intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut Ikhwan al-Shafa[5], yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu
yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran
adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi
riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang
semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui)
secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat
transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.[6]
Ikhwan berpendapat bahwa
akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa dan dengan emanasi
ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal
menjadi penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab
kesempurnaan jiwa.[7] Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti
dari pengaruh pemikiran Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada
pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah yang
menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju “linier-progresif” melalui
tiga cara, yaitu: (1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang
lebih rendah dari substansi dirinya; (2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian
logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan (3) Dengan
perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.[8]
Ikhwan tidak sependapat
dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar tiada lain hanyalah proses
mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua pengetahuan berpangkal pada
cerapan inderawiah. Segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak
dapat diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak
bisa dirasiokan.
Kalangan Ikhwan sangat
memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang berkembang dan bermanfaat bagi
kemajuan hidup manusia. Implikasinya adalah konsep ilmu berpangkal pada
“kesedia-kalaan” ilmu tanpa pembatasan.
Ikhwan membagi ragam
disiplin ilmu sebagai berikut:
a. Ilmu-ilmu Syar’iyah
(keagamaan), yaitu:
1)
Ilmu Tanzil (ilmu
Quran-Hadits)
2)
Ilmu Ta’wil (ilmu
penafsiran)
3)
Ilmu Akhbar (ilmu
penyampaian informasi keagamaan)
4)
Ilmu pengkajian sunnah dan
hokum.
5)
Ilmu ceramah keagamaan,
ilmu kezuhudan dan ta’bir mimpi.
b. Ilmu-ilmu Filsafat
1)
Riyadliyyat (ilmu-ilmu eksak)
2)
Mantiqiyyat (retorika-logika)
3)
Thabi’iyyat (ilmu kealaman atau
fisika)
4)
Teologi (ketuhanan).
c. Ilmu-ilmu Riyadliyyat
(matematik)
1)
Ilmu kitabah-qira’at
(baca-tulis)
2)
Ilmu Nahwu (bahasa dan
gramatika)
3)
Ilmu hitung dan transaksi
4)
Ilmu syi’ir dan prosa
5)
Ilmu peramalan
6)
Ilmu tenun dan sihir
7)
Ilmu profesi
8)
Ilmu jual-beli
9)
Ilmu sejarah
Tokoh lain dari aliran ini
adalah Al-Farabi. Ia menganalisis manusia secara “fungsional-organik”. Ia
membagi potensi manusia menjadi enam tingkatan, yaitu:
a.
Potensi al-ghadziyyah
(organ-organ tubuh yang berguna untuk mencerna makanan). Potensi ini timbul
setelah manusia lahir.
b.
Potensi perasa, yaitu bias
merasakan hawa dingin atau panas, dan lain-lain.
c.
Merespons dan bereaksi.
d.
Mempersepsi dan menghafal
stimuli-stimuli inderawiah yang telah diterimanya.
e.
Potensi mutakhayyilah
(imajinasi), yaitu mengasosiasikan dan memilah-milah unsur-unsur stimuli dengan
aneka model.
f.
Potensi muthlaqah
(mengabstraksi), yaitu menalar, mengidentifikasi antara yang indah dan yang
jelek, memungkinkan berkreasi dan berinovasi.
Al-Farabi menghendaki agar
operasionalisasi pendidikan seiring dengan tahap-tahap perkembangan fungsi
organ tubuh dan kecerdasan manusia.
Dari pemikiran kedua tokoh
di atas, teori utama aliran Religius-Rasional ini antara lain:
a.
Pengetahuan adalah muktasabah,
yakni hasil perolehan dari aktivitas belajar.
b.
Modal utama ilmu adalah
indera.
c.
Lingkup kajian meliputi
pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang ada.
d.
Ilmu pengetahuan adalah hal
yang begitu bernilai secara moral dan sosial.
e.
Semua ragam ilmu
pengetahuan adalah penting.
3. ALIRAN PRAGMATIS (AL-DZARAI’IY)
Tokoh aliran Pragmatis
adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme Barat yaitu John Dewey. Bila
filsafat pendidikan Islam berkiblat pada pandangan pragmatisme John Dewey,
tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya
nyata, bukan hal yang di luar jangkauan pancaindera.[9]
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu
pengetahuan dan pembelajaran adalah tabi’i (pembawaan) manusia karena
adanya kesanggupan berfikir.[10] Pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus
memberikan keuntungan, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh
rizki.
Dia menglasifikasikan ilmu
pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, yaitu:
a. Ilmu-ilmu yang bernilai
instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan Teologi.
b. Ilmu-ilmu yang bernilai
ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasa-Araban bagi ilmu syar’iy,
dan logika bagi ilmu filsafat.[11]
Berdasarkan sumbernya, ilmu
dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Ilmu ‘aqliyah
(intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir rasio, yakni
ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik.
b. Ilmu naqliyah yaitu
ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari orang terdahulu, yakni
ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun, daya
pikir manusia merupakan “karya-cipta” khusus yang telah didesain Tuhan. Manusia
pada dasarnya adalah jahil (tidak tahu), ia menjadi ‘alim (tahu) karena manusia
belajar.
Ibn Khaldun menjadikan
kealamiahan sebagai salah satu sumber pengetahuan rasional. Ia membebaskan
rasio dari dari kungkungan naql (dogma, tradisi) dan menjadikannya
sebagai sumber otonom pengetahuan.
Ia menyatakan bahwa ilmu
pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan
perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi
ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya
masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu
dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun
di atas, maka ide pokok pemikiran aliran Pragmatis antara lain:
a.
Manusia pada dasarnya tidak
tahu, namun ia menjadi tahu karena proses belajar.
b.
Akal merupakan sumber
otonom ilmu pengetahuan.
c.
Keseimbangan antara
pengetahuan duniawi dan ukhrawi.
[1]Mahmud
Arif, dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam:
Perspektif Sosiologis-Filosofis karya Muhammad Jawwad Ridla, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2002).
[2]Muhammad
Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam : Perspektif
Sosiologis-Filosofis, Terj.Mahmud Arif, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2002), 74-75.
[3]Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), 90.
[4]Ibid.
[5]Ikhwan al-Shafa merupakan kelompok terorganisir, terdiri dari
para filosof-moralis, yang mempunyai tujuan-tujuan politis melakukan
transformasi sosial, namun tidak melalui radikal-revolusioner, melainkan
melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas.
[6]Jawwad
Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,78.
[7]Ibid.,
85-86.
[8]
Ibid., 87.
[9]Hasan
Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 99.
[10]Achmadi,
Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 2008), 125.
[11]Jawwad
Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, 105.
A. PENDAHULUAN
Filsafat pendidikan
merupakan titik permulaan dalam proses pendidikan, juga menjadi tulang punggung
kemana bagian-bagian yang lain dalam pendidikan itu bergantung dari segi
tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode mengajar, penilaian
adminitrasi, alat-alat mengajar, dan lain-lain lagi aspek pendidikan yang
memberinya arah, menunjuk jalan yang akan dilaluinya dan meletakkan dasar-dasar
dan prinsip tempat tegaknya.
Banyak orang yang
termenung pada saat tertentu, kadang-kadang karena membingungkan dan
kadang-kadang karena rasa ingin tahu dan berfikir sesuatu yang yang dianggap
pokok. Apakah kehidupan? Bagaimana dapat terjadi cinta yang kuat antara suami
istri? Mengapa diciptakan langit dan bumi? Apakah hubungan adanya siang dan
malam? Dan lain sebagainya. Banyak sekali pertanyaan yang berdengung-dengung di
benak kita yang kadang kita sendiri tidak tahu apa alasannya, bak lebah yang
mencari bunga untuk dihinggapi.
Sebelum memasuki
segmen pengertian Filsafat Pendidikan Islam tentu harus diawali dengan bahasan
tentang pengertian filsafat pendidikan secara umum. Menurut Imam Barnadib,
filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakekatnya merupakan jawaban dari
berbagai pertanyaan dalam lapangan pendidikan. (Said, 1996) Jadi filsafat
pendidikan berusaha akan menjawab semua problematika dalam masalah pendidikan
berdasarkan analisa filosofis sehingga tujuan pendidikan itu dapat tercapai
dengan maksimal.
Sebab masyarakat yang
akan kita bicarakan itu adalah masyarakat Islam yang sebagian besar
anggota-anggotanya ingin melaksanakn Islam dengan sempurna dalam segala urusan
kehidupan dan berusaha member corak Islam atas seluruh sistemnya. Filsafat
pendidikan berfungsi sebagai pedoman bagi usaha-usaha perbaikan, meningkatkan
kemajuan dan dasar yang kokoh bagi tegaknya system pendidikan.
Sebelum kita
menginjak dalam pembahasan tentang aliran-aliran yang ada dalam Islam,
sebaiknya kita mengetahui dahulu tentang makna dan arti Filsafat Pendidikan
Islam. Adapun filsafat pendidikan Islam, dalam hal ini al-Syaibani menjelaskan
bahwa filsafat pendidikan Islam adalah sebagai prinsip-prinsip dan berbagai
kepercayaan yang berasal dari ajaran Islam atau sesuai dengan jiwa Islam yang
mengandung kepentingan pelaksanaan dan bimbingan dalam bidang pendidikan.
Filsafat pendidikan
yang berdasarkan pada Islam ini tidak lain adalah pandangan dasar pendidikan
yang bersumberkan ajaran Islam dan orientasi pemikirannya bedasarkan ajaran
tersebut. Dari pengertian tersebut, berarti terdapat beberapa unsure dalam
pendidikan Islam yaitu landasan-landasan pendidikan Islam berupa al-Qur’an dan
as-Sunnah, bersifat filosofis yang mendasar sampai ke akar persoalan,
memberikan tujuan dan proses yang beriorentasi ajaran Islam. (al-Syaibani,
1979)
Menurut Zuhairini,
dkk (1995) Filsafat Pendidikan Islam adalah studi tentang pandangan filosofis
dari system dan aliran filsafat dalam Islam terhadap masalah-masalah
kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan
manusia muslim umat Islam. Sedangkan Abuddin Nata (1997) mendefinisikan
Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu kajian secara filosofis mengenai
berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada
al-Qur’a dan hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli khususnya
filosof muslim sebagai sumber skunder.[1]
Mungkinkah seorang
dapat dianggap sebagai filosof Islam? Apabila ia sendiri tidak paham
landasan-landasan pemikirannya. Menurut Ibnu Miskawaih, syariat agama merupakan
faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia. Pendidikan juga berpengaruh
terhadap corak hitam putih dalam pemikiran seorang insan.
Setiap filosof
pendidikan Barat maupun filosof pendidikan Islam pasti mempunyai aliran yang
dicetuskan maupun yang dianut oleh masing-masing orang. Misalnya saja dalam
filsafat pendidikan Barat ada yang namanya aliran Nativisme, aliran
Naturalisme, aliran Empirisme, aliran Konvergensi, dan lain-lain. Tidak berbeda
pula dengan filssafat pendidikan Islam, di dalamnya juga terdapat banyak aliran
yang berbeda tetapi konteks dan rujukan tetap kepada al-Qur’an dan al-Hadist.
Maka pentingnya
makalah ini di buat untuk mengetahui tentang aliran-aliran filsafat pendidikan
Islam dan juga implikasinya dalam pemikiran dan pendidikan. Aliran-aliran
Religius Konservatif dengan tokoh utama Imam al Ghazali, aliran Religius
Rasional dengan tokoh utama Ikhwan as Sofa dan aliran Pragmatis Instrumental dengan
tokoh utaman Ibnu Khaldun.
Pemetaan demikian
berdasarkan pada konsep keilmuan yang berlandaskan aliran pendidikan Islam yang
telah mereka pelajari. Menariknya, konsep keilmuan ternyata diakui sebagai tema
sentra ataupun spektrum tradisi intelektual. Berdasarkan “peta” aliran itu,
bahwa khazanah pemikiran pendidikan Islam tidaklah monolitik dan uniform,
melainkan variatif dan plural seperti tradisi pemikiran plural lainnya.[2]
Dalam buku karya
bapak Muhaimin dijelaskan selain aliran yang telah disebutkan diatas masih ada
aliran yang lain yaitu, aliran Perenial-Esensial Salafi, aliran Perenial
Madzhabi, aliran Modernis, aliran Perenial-Esensialis Konstektual Falsikatif
dan aliran Rekonstruksi Sosial. Masing-masing mempunyai dan ciri-ciri
pemikiran, yang berimplikasi pada fungsi pendidikan itu sendiri.
Selanjutnya, akan
dibahas secara rinci akan pengertian dan implikasi aliran filsafat pendidikan
Islam dalam pendidikan.
1. Aliran Religius Konserfatif ( al
Muhafid)
Tokoh-tokoh dalam
aliran ini adalah Imam al Ghazali, Ibnu Hajar al Haitami, Ibnu Sahnun dan
Nasirudin at Thusi. Aliran ini cenderung murni keagamaan dan aliran ini
memaknai ilmu dengan makna yang sempit. Menurut at Thusi ilmu adalah yang
berguna di hari ini dan akan membawa manfaat di akhirat kelak.[3]
Bila kita mau mengamalkan apa yang kita dapatkan dan terapkan maka inilah makna
ilmu yang sebenarnya. Dimana ilmu dapat menjadi sarana agar menjadi orang yang
lebih baik dan mau menjadikan orang lain untuk lebih baik, inilah ilmu yang
sebenarnya.
Al-Gazali termasuk
filosof pendidikan Islam berpaham empiris, yang menekankan pentingnya
pendidikan terhadap pertumbuhan perkembangan anak didik. Menurutnya, seorang
anak tergantung kepada kedua orang tuanya yag mendidiknya. Telah tertulis dalam
hadist Nabi SAW قال رسول الله ص.م:" كلّ مولود
يولد على الفطرة فأبواه يهوّدانه أو ينصرانه أو يمجّسانه"
Tujuan pendidikan (jangka pendek) menurut al-Ghazali ialah diraihnya profesi
manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. (al-Ibrashi, 1990) syarat untuk
mencapai tujuan ini, manusia harus memanfaatkan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan sesuai dengan bakatnya.
Al Ghazali mengklasifikasikan ilmu
menjadi:
a. Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi
menjadi dua:
a. Ilmu Ushul/ilmu pokok. Contoh:
ilmu al Qur’an dan ilmu Hadis
b. Ilmu Furu’/ilmu cabang. Contoh:
ilmu Fiqh dan Akhlaq
c. Ilmu Pengantar/muqoddimah.
Contoh: ilmu Bahasa dan Gramatika
d. Ilmu Pelengkap/mutammimah.
2. Ilmu Ghoiru Syar’iyah, ilmu yang
berasal dari ijtihad ‘ulama’ dan intelektual muslim.
b. Berdasarkan sifatnya, ilmu dibagi
menjadi dua yaitu
ilmu
terpuji(mahmudah) dan ilmu tercela( madzmumah). Menurut Imam al Ghazali ilmu
yang terpuji wajib dipelajari dan dipahami, sementara ilmu yang tercela wajib
dihindari.
Al-Ghazali juga
berpendapat bahwa di dalam proses pendekatan pembelajaran, ada 2 macam yakni
ta’lim insani dan ta’lim rabbani.[5]
Ta’lim insani adalah belajar dengan bimbingan manusia. Pendekatan ini adalah
cara umum yang biasanya dilakukan orang dan biasanya dilakukan dengan
menggunakan alat-alat peraga inderawi yang diakui oleh orang-orang berakal.
Ta’lim insani dibagi menjadi 2:
a) Proses eksternal melalui proses belajar
mengajar
Dalam proses belajar sebenarnya terjadi
proses eksplorasi pengetahuan sehingga menghasilkan perubahan-perubahan
perilaku. Seorang guru menyampaikan ilmu yang mereka miliki dan murid berusaha
untuk menggali dan menggali dan mengerti apa yang ingin diketahui.
b) Proses internal melalui proses tafakkur
Tafakkur diartikan dengan membaca
realitas dalam dimensi wawasan spiritual dan penguasaan pengetahuan hikmah.
Proses tafakkur dilakukan dengan pembersihan jiwa terlebih dahulu dari segala
sifat yang mengotori hati.
Al-Ghazali menegaskan
bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan
kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima
amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini
sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan
baik buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran imam al Ghazali
antara lain:
a. Kegiatan menuntut ilmu tiada lain
berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
b. Teori ilmu ilhami sebagai
landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta
didik.
c. Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak
kegiatan menuntut ilmu.
d. Pembatasan term al-‘ilm hanya
pada ilmu tentang Allah.
e. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka
taqarrub ila Allah, agar dapat mensucikan jiwa dengan akhlaq al-karimah (
Q.S.Al An’aam/6:162;Adz Dzariyat/ 51:56).
f. Belajar dengan bertahap dengan memulai
pelajaran yang mudah ke sukar atau dari fardhu ‘ain menuju fardhu kifayah (
Q.S.Al Fath/48:49)
Rumusan tujuan
pendidikan aliran ini didasarkan pada firman Allah swt, tentang tujuan
penciptaan manusia yaitu :
“ Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia
melainkan agar beribadah kepada-Ku ( Q.S. al-dzariat: 56).”
Sedangkan menurut
Ibnu Jama’ah, para penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan al-Quran,
menghafal dan menafsirkannya. Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu
diprioritaskan adalah Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan
Sharaf.
Implikasi aliran ini
terhadap pendidikan, mengenai proses pembelajaran harus ada integrasi antara
materi, metode dan media pendidikan. Seluruh komponen harus bisa dimaksimalkan
pemakaiannya dalam pendidikan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai
dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, integrasi, maupun minat
dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajaran yang justru merusak akidah
dan akhlaknya.
Adapun metode pendidikan yang
diklasifikasikan oleh al-Ghazali menjadi dua bagian:
Pertama, metode khusus pendidikan agama, metode
ini memiliki orientasi kepada pengetahuan aqidah karena pendidikan agama pada
realitasnya lebih sukar dibandingkan dengan pendidikan umum lainnya.
Kedua, metode khusus pendidikan akhlaq,
al-Ghazali (1991) mengungkapkan:
“Sebagaimana dokter, jikalau memberikan
pasiennya dengan satu macam obat saja, niscaya akan membunuh kebanyakan orang
sakit, begitupun guru, jikalau menunjukkkan hanya satu jalan kepada murid,
niscaya membinasakan hati mereka.
Adapun ilmu yang
paling baik diberikan pada taraf pertama ialah agama dan syari’at, terutama
al-Qur’an. Begitu pula metode/media yang diterapkan juga harus mendukung; baik
secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis, bagi keberhasilan proses
pengajaran. Pendidikan benar-benar ditujukan untuk mendekatkan diri kepada
Allah, dunia bukanlah tujuan utama.
2. Aliran Religius Rasional ( ad Diny al
‘Aqlany)
Tokoh-tokoh aliran
ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih. Aliran
ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan
pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut Ikhwan
al-Shafa[6],
yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada
benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha
transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan
kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu
(mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara
riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi
potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.[7]
Ikhwan berpendapat
bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa dan dengan
emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan
akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab
kesempurnaan jiwa.[8]
Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh
pemikiran Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa
berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal
inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju “linier-progresif”
melalui tiga cara, yaitu: (1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui
sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya; (2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian
logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan (3) Dengan
perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.[9]
Dari hasil
pembahasannya Ikhwan al Shafa menyusun sebuah buku yang terdiri dari sejumlah
risalah yang berjudul “ Rasail Ikhwan al Shafa wa al-Kullah al-Wafa”.
Kitab ini terdiri atas empat jilid yang berisikan ikhtisar tentang pengetahuan
yang ada ketika itu yang mencakup semua objek studi manusia, seperti: ilmu
pasti, ilmu alam, musik, etika, biologi, kimia, metodologi, gramatika, botani,
metafisika, alam akhirat dan lain sebagainya.
Menurut Ikhwan,
setiap anak lahir dengan membawa sejumlah bakat yang perlu diaktualisasikan dan
pendidik seharusnya mengangkat potensi laten yang terdapat dalam anak tersebut.
Di sini pendidik dan orang tua dituntut untuk memberikan contoh yang baik dalam
perilaku sehari-harinya, sehingga menjadi panutan ke arah yang lebih baik.
Pada mulanya, jiwa
manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai
menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini
melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah
al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam
re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya
sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap
direproduksi.
Menurut Ikhwan al
Safa, hakikat manusia terletak pada jiwanya. Sementara jasad merupakan penjara
bagi jiwa. Oleh karena itu, ruang lingkup jasad hendaknya dipersempit,
sedangkan ruang lingkup jiwa diperluas. Manusia hendaknya hidup zuhud agar
jiwanya lebih luasa atas tubuhnya. Kehidupan yang demikian akan mensucikan
jiwanya dalam mengaharap cinta Allah.[10]
Teologi meliputi
keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah,
kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.Tujuan
pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa adalah untuk peningkatan harkat manusia
kepada tingkatan yang tertinggi (malaikat yang suci), agar dapat meraih ridha
Allah SWT.
Sedikit berbeda
antara Ikhwan al Safa dan Ibnu Miskawaih, apabila Ikhwan al Shafa lebih
terfokus kepada anak didik, Ibnu Miskawaih terkonsentrasi dengan suatu
kedudukan ilmu dan budi pekerti. Menurut Busyairi Majidi (1997) Ibnu Miskawaih
Miskawaih menempatkan ilmu ke dalam suatu kedudukan berdasarkan objek ilmu itu.
Ilmu yang paling mulia menurutnya adalah ilmu pendidikan, karena objek
kajiannya terletak pada budi pekerti manusia, menyangkut subtansi manusia.[11] Dan segala ilmu yang mengembangkan quwwatu al-nathiqoh adalah
ilmu yang paling mulia.
Martabat suatu ilmu
sesuai dengan urutan martabat hakikat objek ilmu itu dalam alam ini, misalnya
ilmu tentang manusia lebih mulia dari ilmu hewan, dan ilmu hewan lebih mulia
daripada ilmu tumbuh-tumbuhan, dan ilmu tumbuhan lebih mulai daripada ilmu
geologi, geologi (ilmu jamadat). (Basyir, 1993).
Konsep pendidikan
Ibnu Miskawaih, sebagaimana yang tercermin dalam awal kitabnya Tahdzib
al-Akhlaq ialah terwujudnya pribadi susila. Khuluq adalah alamiah, namun
bisa berubah cepat atau lambat. Pemikiran Miskawaih ini, menolak sebagain
pemikiran Yunani bahwa karakter tidak bisa berubah karena ia berasal dari watak
dan pembawaan. Miskawaih memberikan ilustrasi; bahwa anak yang dididik dengan
suatu cara tertentu berbeda secara mencolok dalam menerima nilai-nilai akhlaq
yang luhur.
Materi pendidikan,
menurut Ibnu Miskawaih adalah hal-hal yang wajib bagi kebutuhan jasmani untuk
membentuk akhlaq yang mulia yaitu materi yang berhubungan dengan ibadah fisik,
seperti: sholat, puasa dan zakat. Dan hal-hal yang berhubungan dengan jiwa
yaitu aqidah yang benar. Dan hal yang berhubungan dengan sesama manusia.
Seperti; ilmu mu’amalat, pertanian dan perkawinan.
Sesungguhnya materi
pendidikan yang dianut oleh Ibnu Miskawaih dipengaruhi faham ontologism.[12] Ibnu Miskawaih mengisyaratkan tiga metode pendidikan secara
umum, yaitu keteladanan, latihan (riyadhah) dan tarqhib dan tarhib. Tarqhib
artinya janji disertai bujukan dan rayuan untuk memotivasi beramal shaleh. Dan
tarhib artinya ancaman melalui hukuman yang disebabkan perbuatan dosa,
kesalahan atuapun perbuatan yang melanggar syari’at. (al-Nahlawi, 1987).
Sedangkan latihan barangkali dipengaruhi oleh pemikiran sufistik.
Tokoh lain dari
aliran ini adalah Al-Farabi. Ia menganalisis manusia secara
“fungsional-organik”. Ia membagi potensi manusia menjadi enam tingkatan, yaitu:
a. Potensi al-ghadziyyah
(organ-organ tubuh yang berguna untuk mencerna makanan). Potensi ini timbul
setelah manusia lahir.
b. Potensi perasa, yaitu bisa merasakan
hawa dingin atau panas, dan lain-lain.
c. Merespon dan bereaksi.
d. Potensi mutakhayyilah
(imajinasi), yaitu mengasosiasikan dan memilah-milah unsur-unsur stimuli dengan
aneka model.
e. Potensi muthlaqah
(mengabstraksi), yaitu menalar, mengidentifikasi antara yang indah dan yang
jelek, memungkinkan berkreasi dan berinovasi.
Implikasi aliran ini
terhadap pendidikan adalah ilmu pengetahuan tidak hanya sebagai sarana mendekatkan
diri kepada Allah, tetapi juga sebagai saran untuk meningkatkan derajat manusia
pada tingkatan yang tinggi, baik dalam lingkungan sosial maupun dalam pandangan
agama. Pembentukan akhlaq dengan berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadist.
Intisari daripada
aliran religius rasional adalah tidak hanya mengedepankan agama, tetapi juga
ilmu yang lainnya dianggap penting juga. Karena kita hidup di dunia dan
akhirat.
3. Aliran Pregmatis Instrumental
Menurut Ibnu Khaldun,
ilmu pengetahuan dan ilmu pembelajaran adalah pembawaan manusia karena adanya
kesanggupan berfikir. Dalam proses belajar manusia harus sungguh-sungguh dan
memiliki bakat. Dalam mencapai pengetahuan yang beraneka ragam, seseorang tidak
hanya membutuhkan ketekunan, tapi juga bakat. Seseorang perlu mengembangkan
keahliannya dibidang tertentu.
Ibnu Khaldun
mengatakan bahwa: al-Ilm wa al-Ta’lim Thabi’iyyun fi al’Umran al-Basyari.
(Khaldun, 1979). Pengetahuan dan pendidikan merupakan tuntutan alami dari
peradaban (al-‘Umran) manusia. Hal itu dimungkinkan karena manusia dibekali
dengan akal, yang dengan akal itu manusia berpikir dan memiliki motivasi untuk
mengetahui sesuatu. Dengan berpikir berarti bersosialisasi dengan realitas di
sekitarnya.
Ide tentang adanya
hubungan antara ilmu dan peradaban memunculkan sesuatu ide yang lain yang
merupakan konsekuensi logisnya yaitu: al-‘Ulum innama Takastsrat Haisu
yaksuru al’Umran wa Ta’adzaa al-hadarah. Pengetahuan akan berkembang sesuai
dengan perkembangan peradaban.
Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan
menjadi tiga kelompok:
a. Ilmu lisan (bahasa), tata bahasa dan
sastra,
b. Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari
al-Qur’an dan Hadits, berupa ilmu tafsir, sanad, serta
istinbat tentang kaidah-kaidah fiqh.
c. Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari
al-Qur’an dan Hadits, berupa ilmu tafsir, sanad, serta istinbat tentang
kaidah-kaidah fiqh.
Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses
pendidikan, yaitu:
a.
Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill)
dalam bidang tertentu. Orang awam bisa meneliti, pemahaman yang sama tentang
suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakah
tidak bisa demikian oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami
dan mendalami suatu disiplin tertentu.
b. Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman
(lingkungan dan materi). Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk
memperoleh ketrampilan yang tinggi pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan
menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat
manusia di muka bumi.
c.
Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir
merupakan jenis pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu,
pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu
memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta
didik.
Implikasi aliran ini
terhadap pendidikan adalah dalam pembelajaran, Ibnu Khaldun
lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan
permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan
mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga selesai
materi per-bab.
Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang
mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan
ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu
kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta
logika yang dibutuhkan oleh filsafat. Pendidikan diupayakan agar peserta didik
benar-benar menguasai suatu bidang ilmu pengetahuan yang memang telah menjadi
bakatnya, yang nantinya dapat meningkatkan kehidupan sosialnya di masyarakat.
Menurut Ibnu Khaldun,
orang yang mendapat keahlian dalam bidang tertentu jarang sekali ahli pada
bidang lainnya, misalnya tukang jahit. Hal ini lantaran sekali seseorang
menjadi ahli hingga keahliannya itu tertanam berurat akar di dalam jiwanya.
Alasannya karena keahlian merupakan sifat atau corak jiwa yang tidak dapat
tumbuh serempak. (Abuddin Nata, 1997).
Selain aliran-aliran
yang telah disebutkan diatas ada beberapa aliran filsafat pendidikan Islan yang
ditinjau dari tipologi yaitu, aliran Perenial-Esensial Salafi, aliran Perenial
Madzhabi, aliran Modernis, aliran Perenial-Esensialis Konstektual Falsikatif
dan aliran Rekonstruksi Sosial. Masing-masing mempunyai dan ciri-ciri
pemikiran, yang berimplikasi pada fungsi pendidikan itu sendiri.
Perenial-Esensial
Salafi
aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as- Sunah bersikap regresif dan
konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai era salaf, serta berwawasan
kependidikan Islam yang beriorentasi pada masa silam (era salafi). Ciri-ciri
pemikirannya adalah ia menjawab persoalan pendidikan dalam konsteks wacana
salafi, memahami nash secara tekstual-lughawi, penafsiran ayat dengan ayat
lain, ayat dengan hadis maupun hadis dengan hadis sehingga kurang adanya
perkembangan dan elaborasi.
Fungsi pendidikan
Islam baginya adalah melestarikan budaya masyarakat salaf yang dianggap ideal
serta mengembangkan potensi dan interaksinya dengan nilai dan budaya masyarakat
era salaf.
Perenial-esensialis
mazhabi aliran
yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah dan bersikap regresif dan
konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya,
mengikuti aliran, pemahaman dan pemikiran terdahulu yang dianggap mapan, serta
berwawasan kependidikan Islam yang tradisional dan beriorentasi pada masa
silam. Ciri-ciri pemikirannya menekankan pada pemberiah syarh dan hasyiyah
terhadap pemikiran pendahulunya, dan kurang adanya keberanian untuk mengkritik
dan mengubah subtansi materi pendidikan pendahulunya.
Fungsi pendidikan
Islam adalah melestarikan dan mempertahankan nilai, budaya, dan tradisi dari
satu generasi ke generasi, serta pengembangan potensi dan interaksinya dengan
nilai dan budaya masyarakat yang terdahulu.
Modernis aliran yang bersumber dari al Qur’an
dan as-Sunah, menekankan perlunya berfikir bebas dan terbuka dengan tetap
terikat oleh nilai-nilai kebenaran universal sebagaimana yang terkandung dalam
wahyu Illahi; progressif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan
kebutuhan lingkungan atau zaman; serta berwawasan kependidiksn Islam
kontemporer. Ciri-ciri pemikirannya adalah tidak berkepentingan untu
mempertahankan dan melestarikan pemikiran dan sistem pendidikan para
pendahulunya, lapang dada dan menerima pemikiran dari manapun dan siapapun dan
selalu menyesuaikan perkembangan sosial dan iptek.
Tugas pendidikan
Islam adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal, aliran
ini hampir sama dengan aliran religius rasional yang diprakarsai oleh Ikhwan
al Shafa. Sedangkan fungsi daripada pendidikan Islam adala sebagai:
1. Upaya pengembangan potensi peserta
didik secara optimal, baik potensi jasmani, akal maupun hati,
2. Upaya interaksi potensi dengan tuntutan
dan kebutuhan lingkungannya,
3. Rekonstruksi pengalaman yang
terus-menerus agar dapat berbuat sesuatu secara intelegen yang dilandasi
dengan iman dan taqwa kepada Allah Swt.
Perenial-esensialis
konstektual –falsikatif aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah,
menekankan perlunya sikap konserfatif dan regresif terutama dalam konteks
pendidikan agama, yang lebih mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu
dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan
wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang yang selaras dengan tuntutan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan yang ada, wawasan
kependidikan Islam yang concern terhadap kesinambungan pemikiran pendidikan
Islam dalam merespon tuntutan perkembangan iptek dan perubahan sosial yang ada.
Ciri-ciri aliran ini:
1. Menghargai pemikiran pendidikan Islam
yang berkembang pada era salaf, klasik dan pertengahan.
2. Mendudukan pemikiran pendidikan Islam
era salaf dan klasik serta pertengahan dalam konteks ruang dan zamannya untuk
difalsifikasi.
3. Rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam
terdahulu yang di anggap kurang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan era
kontemporer.
Fungsi pendidikan Islam menurut aliran
ini adalah sebagai:
1. Upaya pengembangan potensi secara
optimal serta interaksinya dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungan tanpa
mengabaikan tradisi yang sudah mengakar.
2. Menumbuhkan nilai-nilai Ilahiyah dan
insaniyah dalam konteks perkembangan Iptek dan perubahan sosial yang ada.
Rekonstruksi sosial aliran yang bersumber dari al Qur’an
dan as-Sunah, di samping menekankan sikap progressif dan dinamis, juga sikap
proaktif dan antisipasif dalam menghadapi menghadapi perkembangan Iptek,
tuntutan perubahan, dan beriorentasi pada masa depan dan menuntut kreatifitas.
Tugas pendidikan
Islam terutama membantu agar manusia menjadi makhluk yang cakap dan selanjutnya
manusia mampu bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakat yang dilandasi
iman dan taqwa kepada Allah. Karena hakikatnya manusia adalah khalifah Allh fil
ardhi yang mampu untuk memecahkan permasalahan yang ada dengan potensi
jismiah dan nafsiah yang mengandung dimensi al-nafsu, al ‘aql dan
al-qalb (temuan Baharuddin, 2001), sehingga ia siap mengaktualisasikan
potensinya dalam konteks hubungan horisontal (habl min al-nas), yang
diwujudkan dalam bentuk rekonstruksi sosial secara berkelanjutan untuk
mencapai ridhoNya.
Fungsi pendidikan
Islam adalah sebagai:
1. Upaya menumbuh kembangkan kreativitas
secara berkelanjutan
2. Upaya memperkaya khazanah budaya
manusia, dengan memperkaya isi nilai-nilai insani dan Ilahi
3. Upaya menyiapkan tenaga kerja yang
produktif yang berjiwa spirit Islam.
Kelima aliran ini
dikonseptualisasikan dari hasil kajian terhadap aliran-aliran filsafat
pendidikan pada umumnya, serta mencermati pola-pola pemikiran Islam yang
berkembang dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modernitas,
dan kajian kritis terhadap corak pemikiran pendidikan Islam yang berkembang
pada umumnya sebagaimana terkandung dalam karya para ulama dan cendekiawan
muslim dalam bidang pendidikan Islam.
Sebagai calon
pendidik bukankah kewajiban kita untuk memahami dan mengamalkan aliran mana
yang sesuai dengan pendidikan saat ini? Atau kita dapat memadukan antara satu
aliran dengan aliran yang lainnya tanpa harus mengurangi nilai karena satu
dengan yang lainnya saling melengkapi.
Contohnya saja,
Filsafat Pendidikan Islam yang ada pada negara kita. Kecenderungan pola kajian
pemikiran pendidikan Islam Indonesia, sebagaimana diamati oleh Azra, berbagai
kecenderungan tersebut terkait dengan latar belakang mereka, baik latar
belakang pendidikan maupun aktifitas mereka dalam kegiatan kemasyarakatan.
Terbatasnya literatur
filsafat pendidikan Islam di Indonesia yang notabene sangat dibutuhkan oleh
masyarakat akademis, juga mendorong penulisannya yang cenderung bersifat
pragmatis, yang berimplikasi pada kesenjangan antara idealitas pemikiran mereka
dengan realitas simbol-simbol pemikirannya sebagaimana tertuang dalam
karya-karya mereka.
Menurut Muhaimin,
yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah rekonstruksi sosial yang
teosentris, dengan landasan pemikiran bahwa:
1) Bangsa Indonesia mengakui Pancasila
sebagai dasar Negara, sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam
konstek ajaran Islam, sila tersebut dimaknai dengan konsep tauhid, yang
mencangkup konsep-konsep tauhid uluhiyah, ububiyah, mulkiyah dan rahmaniyah
2) Bangsa Indonesia hidup dalam pluralisme
yang sangat rentan terhadap konflik-konflik, namun tetap bertekad ber-Bhineka
Tunggal Ika. Pengembangan Pendidikan Islam berusaha untuk menciptakan ukhuwah
Islamiyah dalam arti luas.
3) Perlunya pendidikan Islam untuk
menyiapkan keunggulan manusia dalam Iptek, yang produktif, kompetitif, dengan
tetap memiliki kesadaran akan hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama dalam
alam demokratis.
Dari dulu sampai
sekarang ini pendidikan merupakan hal yang paling penting untuk membawa mereka
kepada kehidupan yang lebih baik, dan masalah sukses tidaknya pendidikan tidak
lepas dari faktor pembawaan dan lingkungan. Pembawaan dan lingkungan merupakan
hal yang tidak mudah untuk di jelaskan sehingga memerlukan penjelasan dan
uraian yang tidak sedikit telah bertahun-tahun lamanya para ahli didik, ahli
biologi, ahli psikologi,dan lain-lain memikirkan dan berusaha mencari jawaban,
tentang perkembangan manusia itu sebenarnya bergantung kepada pembawaan ataukah
lingkungan.
Dari aliran-aliran di
atas dapat disimpulkan pula bahwa pada masing-masing aliran terdapat persamaan
dan perbedaan yang dapat kita lihat dengan gamblang diantaranya yakni
persamaannya sama-sama bersumber dari al-Quran dan as sunnah, kemudian
perbedaannya terletak pada ciri-ciri dan fungsi aliran-aliran tersebut dalam filsafat
pendidikan Islam.
Manfaat dengan kita
mempelajari atau mengetahui aliran-aliran di atas juga dapat dipakai sebagai
alat untuk memahami model-model pemikiran melalui telaah terhadap karya-karya
ilmiah atau buku-buku, sehingga dapat dijelaskan aliran manakah yang lebih
dominan dan menonjol dalam pembahasan aliran-aliran filsafat pendidikan islam.
Sehingga kita juga dapat menentukan arah yang tepat dalam berpinjak dalam dunia
pendidikan khususnya pendidikan islam.
Perbedaan
aliran-aliran yang ada sebaiknya disikapi dengan cara yang bijaksana dan
positif, agar tercapai hakikat dan tujuan yang diharapkan.
PENUTUP
SIMPULAN
1. Dari pembahasan di atas dapat kita
kerucutkan ada dua macam aspek aliran filsafat pendidikan Islam, yaitu segi
konsep keilmuan dan segi pola-pola pemikiran dan sumbernya. Aliran filsafat
pendidikan Islam dari segi konsep keilmuan ada tiga yaitu aliran religius
konserfatif, aliran religius rasional dan aliran pragmatis instrumental. Aliran
filsafat pendidikan Islam dari segi pola pemikiran dan sumbernya ada lima yaitu
aliran perenial-esensial salafi, aliran perenial-esensial salafi, aliran
modernis, aliran perenial-esensialis konstektual-falsikatif dan aliran
rekonstruksi sosial.
2. Masing-masing aliran terdapat persamaan
dan perbedaan yang dapat kita lihat dengan gamblang diantaranya yakni
persamaannya sama-sama bersumber dari al-Quran dan as sunnah, kemudian
perbedaannya terletak pada ciri-ciri dan fungsi aliran-aliran tersebut dalam
filsafat pendidikan Islam.
SARAN
1. Penggunaan setiap aliran dalam metode
pendidikan hendaknya diselaraskan dengan tujuan pendidikan yang telah
dirumuskan, tingkat usia peserta didik, kecerdasan bakat dan fitrahnya.
2. Bersikap positif dan bijaksana untuk
menyikapi semua perbedaan aliran yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Arif, dalam
“Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif
Sosiologis-Filosofis karya Muhammad Jawwad Ridla, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2002).
Samsul Nizar,
Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002)
Dr. H. Muhaimin, Arah
Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga
Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Nuansa, 2003)
Dr. Jalaludin &
Drs. Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan
Pemikirannya, (Jakarta: Rajawali Pers)
H. Ahmad Syar’I M.Pd,
Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)
/Filsafat Pendidikan
Islam/Silabus/aliran-utama-filsafat-pendidikan.html
/Filsafat Pendidikan
Islam/Silabus/aliran-filsafat-pendidikan-islam.html
/Filsafat Pendidikan
Islam/Silabus/Resume aliran-aliran filsafat pendidikan islam _ elamin.htm
[1] H. Ahmad
Syar’I M. Pd, Fislafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2005), hlm. 6
[2] Mahmud
Arif, dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam:
Perspektif Sosiologis-Filosofis karya Muhammad Jawwad Ridla, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2002).
[3] Filsafat Pendidikan
Islam/Silabus/aliran-utama-filsafat-pendidikan. html. 523
[4] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), 90.
[5] Baharuddin
dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2010)
[6] Sebuah
perkumpulan rahasia yang bergerak dalam lapangan ilmu pengetahuan dan asas
utama perkumpulan ini adalah persaudaraan yang dilakukan dengan tulus ikhlas,
kesetiakawanan yang suci dan murni, serta saling menasehati antara sesama
anggota untuk menuju ridho Illahi dan tidak melalui jalan radikal-revolusioner.
[7] Jawwad
Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,78.
[8] Ibid.,
85-86.
[9] Ibid.,
87.
[10] Yunasril
Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi, h. 24
[11] H. Ahamad
Syar’I M. Pd, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)
[12] Ibid, hlm.
93-94
Filsafat Pendidikan Islam (Aliran-aliran Pendidikan)
BAB I
ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
A. Aliran Eksistensialisme
1. Sejarah munculnya eksistensialisme
Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat
Jerman Martin Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat
dan akar metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh
Hussel (1859-1938). Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafat
Kieggard dan Nietzche. Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk
menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang individu)”. Hal ini
terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan
individualitasnya). Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut
manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan,
dan komitmen pribadi dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan
filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia
unggul”. Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk
merealisasikan diri secara jujur dan berani
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus
mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi
fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi
terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme bahwa manusia adalah
benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia adalah sesuatu yang ada tanpa
menjadi Subjek. Pandangan manusia menurut idealisme adalah manusia hanya
sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme
berkayakinan bahwa paparan manusia harus berpangkalkan eksistensi, sehingga
aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang kongkrit.
Eksistensi oleh kaum eksistensialis disebut Eks bearti
keluar, sintesi bearti berdiri. Jadi ektensi bearti berdiri sebagai diri
sendiri
Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari
aliran filsafat yang menamakan dirinya eksistensialisme, yang para tokohnya
antara lain Kierkegaard (1813 – 1915), Nietzsche (1811 – 1900) dan Jean Paul
Sartre. Inti ajaran ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap
orang. Eksistensi mendahului esensi. Kita lahir dan eksis lalu menentukan
dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk
dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk
universal, setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan
berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi yang mendalam terhadap
komitmen dan pilihan sendiri.
Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru
berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya
dengan membiarkan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui.
Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensialis menganjurkan
pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai
pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu, kurikulum menjadi fleksibel
dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti kaya dengan
materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam
bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk
memungkinkan siswa ‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup, cinta dan
kematian.
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi
dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah
akibat perang dunia kedua.[1] Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya
adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat
manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan
filsafat eksistensi. Paham Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia
pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai
arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema
sentral.”[2]
Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian
eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak
logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutkan
rasional.[3] Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki
dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat
oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu
dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan
kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum
Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali Nampak aneh atau lepas
dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to[4] adalah lebih banyak
menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya tentang prendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve
Morris dalam Existentialism and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak
menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk.”[5] Oleh sebab
itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana
yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang
diajukan oleh Morris sebagai “Eksistensialisme’s concept of freedom in
education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan
Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan
ahli pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendikan aliran
Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.
Pandangan eksistensialisme adalah:
Menurut metafisika: (hakekat kenyataan) pribadi manusia tak sempurna,
dapat diperbaiki melalui penyadaran diri dengan menerapkan prinsip &
standar pengembangan ke pribadian
Epistimologi: (hakekat pengetahuan), data-internal–pribadi,
acuannya kebebasan individu memilih
Logika: (hakekat penalaran), mencari pemahaman tentang
kebutuhan & dorongan internal melaui analis & introfeksi diri \
Aksiologi (hakekat nilai), Standar dan prinsip yang
bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih-diambil
Etika (hakekat kebaikan), tuntutan moral bagi kepentingan
pribadi tanpa menyakiti yang lain
Estetika (hakekat keindahan), keindahan ditentukan secara
individual pada tiap orang oleh dirinya
Tujuan hidup menyempurnakan diri melalui pilihan standar
secara bebas oleh tiap individu, mencari kesempurnaan hidup
B. Perenialisme
Perennialisme diambil dari kata Perennial, yang dalam Oxford
Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “Continuing
throughout the whole year” atau “Lasting for a very long time” abadi atau
kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu aliran perenialisme mengandung
kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang
bersifat kekal abadi.
Perennial berarti everlasting, tahan lama atau abadi. Aliran
ini mengikuti paham realisme, yang sejalan dengan pemikrian Aristoteles bahwa
manusia itu rasional. Sekolah adalah lembaga yang didesain untuk menumbuhkan
kecerdasan. Siswa seyogyianya diajari gagasan besar agar mencintainya, sehingga
mereka menjadi intelektual sejati. Akar filsafat ini datang dari gagasan besar
Plato, Aristoteles dan kemudian dari St. Thomas Aquinas yang sangat berpengaruh
pada model-model sekolah Katolik.
Kaum perrenialis mendasarkan teorinya pada pandangan
universal bahwa semua manusia memiliki sifat esensial sebagai mahluk rasional,
jadi tidaklah baik menggiring dan mencocok hidung mereka ke penguasaan
keterampilan vokasional. Berbeda dari esensialis, eksperimen saintifik dianggap
mengurangi pentingnya kapasitas manusia untuk berpikir. Pelajaran filsafat
dengan demikian menjadi penting, agar siswa mampu berpikir mendalam, analitik,
fleksibel, dan penuh imajinatif.
Perennialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman
modern telah menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang kehidupan umat
manusia. Untuk mengatasi krisis ini perennialisme memeberikan jalan keluar
berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau” regressive road to cultural.[6]
Oleh karena itu perennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses
mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau
yang dianggap cukup ideal dan yang telah terpuji ketangguhannya. Sikap kembali
kepada masa lampau bukan berarti nostalgia, sikap yang membanggakan kesuksesan
dan memulihkan kepercayaan pada nilai-nilai asasi abad silam yang juga
diperlukan dalam kehidupan abad modern.
Perennialisme adalah gerakan pendidikan yang mempertahankan
bahwa nilai-nilai universal itu ada, dan bahwa pendidikan hendaknya merupakan
suatu pencarian, penanaman kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai tersebut.[7]
Asas yang dianut perennialisme bersumber pada filsafat
kebudayaan yang berkiblat dua[8], yaitu:
Perennialisme yang theologis, bernaung di bawah supremasi
gereja katolik, dengan orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinasa.
Perennialisme sekuler berpegang pada ide dan cita filosofis
Plato dan Aristoteles.
Pendidikan menurut filsafat ini mesti membangun sejumlah
mata pelajaran yang umum bukan spesialis, liberal bukan vokasional, yang
humanistik bukan teknikal. Dengan cara inilah pendidikan akan memenuhi
fungsinya humanistiknya yang mesti dimiliki manusia. Ada empat prinsip dari
aliran ini :
Kebenaran bersifat universal dan tidak tergantung pada
tempat, waktu, dan orang;
Pendidikan yang baik melibatkan pencarian pemahaman atas
kebenaran;
Kebenaran dapat ditemukan dalam karya-karya agung; dan
pendidikan adalah kegiatan liberal untuk mengembangkan
nalar.
Prinsip-prinsip pendidikan Perennialisme
Di bidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi oleh
tokoh-tokohnya: Plato, Arietoteles, dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini pokok
pemikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi
dari hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal sehingga ketertiban
social hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normative dalam
tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan adalah: “membina pemimpin yang
sadar dan mempraktikkan asas-asas normative itu dalam semua aspek kehidupan.
Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi,
yaitu: nafsu, kemauan, dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi
itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan
masyarakat bisa terpenuhi.
Prinsip-prinsip pendidikan perennialisme tersaebut
perkembangannya telah mempengaruhi system pendidikan modern, seperti pembagian
kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi dan pendidikan orang
dewasa.
C. Aliran Rekonstruksionalisme
1. Pengertian
Rekonstruksionalisme dipelopori oleh Jhon Dewey, yang
memandang pendidikan sebagai rekonstruksi pengalaman-pengalaman yang
berlangsung terus dalam hidup. Sekolah yang menjadi tempat utama berlangsungnya
pendidikan haruslah merupakan gambaran kecil dari kehidupan social di
masyarakat. Perkembangan lebih lanjut dari rekonstruksionalisme Dewey adalah
rekonstruksionalisme radikal, yang memendang pendidkan sebagai alat untuk
membangun masyarakat masa depan.
Persahabatan pendidikan Amerika (Amerivcan Education
Fellowship atau AEF)
Prinsip-prinsip yang menjadi landasan kerja AEF yaitu:
Memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada setiap
anak, tanpa membedakan Ras, kepercayaan, atau latar belakang ekonomi
Memberikan “pendidikan tinggi” –latihan akademik,
professional, dan teknikal– kepada setiap mahasiswanya untuk dapat menyerap dan
menggunakan ilmu dan teknologi yang diajarkan
Memebuat sekolah-sekolah Amerika menjadi berperanan sangat
penting sebagai satu bagian dari kehidupan nasional kita yang akan menarik
karena para gurunya adalah laki-laki dan perempuan kita yang sangat bersemangat
Menyusun sebuah program pemuda untuk usia 17-23 tahun untuk
membawa mereka dan sekolah aktif menuju pada berpatisipasi dalam masyarakat
orang dewasa
Mengusahakan penggunaan penuh dari perlengkapan sekolah
dalam waktu di luar sekolah untuk pertemuan-pertemuan pemuda, kegiatan-kegiatan
masyarakat pendidikan orang dewasa
Bekerjasama penuh dengan semua lembaga masyaraklat dan
lemabaga social menuju sebuah masyarakat demopkratis yang sesungguhnya, tetapi
dalam waktu yang bersamaan menjaga pendidkan yang bebas dari kekuasaan suatu
kelompok atau kepentingan tertentu
Terus memperluas penelitian dan eksperimentasi pendidikan
Mengajak pemimpin-pemimpin masyarakat untuk menjadikan
pendidikan sebagai bagian dari masyarakat dan masyarakat menjadi bagian dari
sekolah
Pada dasarnya aliran Rekonstruksionalisme adalah sepaham
dengan aliran Perennialisme dalam hendak mengatasi krisis kehidupan modern.
Hanya saja jalan yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang dipakai oleh
perennialisme, tetapi sesuai dengan istilah yang dikandungnya, yang berusaha
membina suatu consensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan
utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Untuk mencapai tujuan itu, Rekonstruksionalisme berusaha
mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata
kehidupan manusia dalam suatu tataan baru seluruh lingkungannya. Maka melalui
lembaga dan proses pendidikan Rekonstruksionalisme ingin.
Aliran rekonstruksi juga memiliki akar-akar filsafat
eksistensialisme namun terutama berlandaskan pada pemikiran aliran progresif.
Persamaan antara dua aliran filsafat ini adalah bahwa segala sesuatu di dunia
ini bersifat relatif dan semua manusia mengelola dunia ini untuk memahaminya
dan mengubahnya. Aliran rekonstruksi menginginkan transformasi kultur yang ada
berdasarkan analisis terhadap ketidakadilan dan kesalahan-kesalahan mendasar
dalam praktik-praktik pendidikan selama ini. Mereka kritis terhadap masyarakat
kontemporer dan dianggap sebagai penggiat sosial yang peduli terhadap isu-isu
nasional dan internasional.
Bila tujuan
pendidikan untuk menyiapkan anak didik sebagai pengubah dunia, maka sekolah
harus membekali siswa dengan alat untuk melakukan perubahan, yakni demi
transformasi dunia ini lewat rekonstruksi sosial. Guru dengan demikian memiliki
peran penting dalam mengubah kebudayaan. Tokoh-tokoh besar aliran ini antara
lain George Counts, Theodore Brameld, Ivan Illich, dan Paulo Freire.
Dalam bukunya Education for the Emerging Age (1950) Brameld
menyarankan bahwa tujuan pendidikan bukan untuk memperoleh kredit atau sekedar
pengetahuan, tetapi memberi manusia apapun rasanya, kepercayaannya, dan
kehidupan yang lebih memuaskan dirinya dan masyarakatnya. Pengetahuan,
pelatihan dan keterampilan adalah alat untuk mencapai tujuan ini, yakni
realisasi diri.
Illich dalam bukunya Deschooling Society (1970) mempertanyakan
apakah dunia ini rela membiarkan mayoritas penduduk tidak sekolah, membiarkan
drop out anak-anak dari golongan kelas bawah. Konstribusi aliran ini bukan
untuk menghapus sekolah, tetapi untuk melonggarkan pelembagaan
(deinstituionalize) pengalaman pendidikan di sekolah, agar siswa mampu
mentransformasi kultur yang ada. Illich melihat keterkaitan bahasa dengan
kekuasaan. Dengan menguasai bahasa sampai tingkat literasi tinggi seseorang
dapat menggapai kekuasaan dan mampu mentransformasi kebudayaan. Dalam Pedagogy
of the Oppressed (1995), Illich menekankan pentingnya kemampuan manusia untuk
mengidentifikasi dan mempertanyakan asumsi-asumsi ihwal hakikat dunia lewat
dialog dan diskusi.
[1] Fernando R. Molina. The Sources of Eks` istentialism As Philophys. New Jersey,
Prentice-Hall, 1969 hal 1
[2] Fuad Hassan. Kita dan kami. Bulan Bintang, Jakarta, 1974
hal 7-8
[3] Paul Roubickzek. Existensialism For and Agiant.
Cambridge University Press. 1966 hal 10
[4] Fuad Hassan. Op. cit. hal 71
[5] Joe Park. Op. cit. hal 128-138
[6] Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara.
Jakarta 1995 hal 28
[7] Redja Mudyahardjo. Pengantar Pendidikan. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2008 hal 164-165
[8] Mohammad Noor Syam. Filsafat Pendidikan dan Dasar
Filsafat Pendidikan Pancasila. Usaha Nasional, Surabaya
1983 hal 297
aliran filsafat pendidikan Islam
A. Aliran Religius
Konservatif
Tokoh dalam aliran filsafat ini adalah Imam al- Ghazali.
Menurutnya kewajiban utama manusia dalam pendidikan dan penggalian ilmu
pengetahuan adalah tentang dzat Allah.[1] Beliau termasuk filosof pendidikan
Islam yang menganut faham idealisme yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar
pandangannya, dalam masalah pendidikanbeliau berfaham empiris,[2] yang menekankan pentingnya
pendidikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Menurutnya seorang
anak tergantung pada kedua orangtua yang mendidiknya. Seorang anak hatinya
bersih dari gambaran apapun. Jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang
baik maka ia akan baik. Sebaliknya jika anak dibiasakan perbuatan buruk dan
jahat maka dia akan berakhlak buruk. Menurut al-Ghazali ilmu yang wajib
dipelajari sesuai dengan tingkatan wajibnya dapat diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu :
1. Ilmu fardhu
ain (kewajiban personal)
Yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu.
Ilmu-ilmu itu adalah ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari
al-qur’an, ibadah-ibadah pokok, serta tata cara melakukan kewajiban tersebut.
[3]
2. Ilmu Fardhu
Kifayah (kewajiban komunal)
Yaitu ilmu yang digunakan untuk memudahkan urusan dunia
seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu tekhnik, ilmu pertanian dan ilmu
industri. [4]
Al- Ghazali membagi ilmu pengetahuan yang wajib dipelajari
oleh anak didik menjadi dua, yaitu ilmu yang tercela dan ilmu yang terpuji.
Ilmu yang tercela yaitu ilmu yang tidak bermanfaat baik di dunia maupun di
akhirat, seperti ilmu sihir, dan ilmu perdukunan. Bila dipelajari akan membawa
mudharat dan meragukan kebenaran adanya Tuhan. Ilmu yang terpuji yaitu ilmu
tauhid dan ilmu agama. Ilmu ini akan mendekatkan seseorang kepada jiwa yang
suci dan dekat kepada Allah. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yaitu ilmu
yang tidak boleh diperdalam karena ilmu ini dapat membawa kepada kegoncangan iman
dan ilhad (meniadakan Tuhan) seperti ilmu filsafat.[5] Aliran religious
konservatif ini berpandangan bahwa semua yang ada di dunia berawal dari agama,
maka segala hal yang berkaitan dengan ilmu harus berdasarkan nilai-nilai agama.
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada
realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan
keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang
tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan
selaim untuk mendekatkan diri pada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan
kemudaratan.[6]
Rumusan tujuan pendidikan didasarkan pada firman Allah swt,
tentang tujuan penciptaan manusia yaitu :
“ Tidaklah Aku
jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku ( Q.S. al-dzariat:
56)
B. Aliran Religius
Rasional
Tokoh aliran ini adalah ikhwan al- Shafa. Aliran ini
memadukan antara sudut pandang keagamaan dengan sudut pandang kefilsafatan
dalam menjabarkan konsep ilmu.[7] Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan
terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi
dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.Ikhwan
al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki
pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara
dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh).
Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi,
secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua
rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali
memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk
selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah
al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah
al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Ikhwan al-Shafa membagi cabang pengetahuan menjadi tiga
kelas utama, yaitu: matematika, fisika, dan metafisika. Dalam Rasa’il
matematika meliputi: teori tentang bilangan, geometri, astronomi, geografi,
musik, seni teoritis dan praktis, etika, dan logika. Fisika meliputi: materi,
bentuk, gerak, waktu, ruang, langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi
alam, tumbuhan, hewan, tubuh manusia, indera, kehidupan dan kematian,
mikrikosmos, suka, duka, dan bahasa. Metafisika dibagi menjadi
psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme. Subdivisi pertama
(psiko-rasionalisme) meliputi fisika, rasionalistika, wujud, mikrokosmos, jiwa,
tahun-tahun raya, cinta, kebangkitan kembali dan kausalitas. Teologi meliputi
keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah,
kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.
Tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa adalah untuk
peningkatan harkat manusia kepada tingkatan yang tertinggi (malaikat yang
suci), agar dapat meraih ridha Allah SWT.
C. Aliran
Pragmatis Instrumental
Tokoh dalam aliran ini adalah Ibnu Khaldun. Sudut pandangnya
di bidang pendidikan lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi
pada aplikatif praktis. Dia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasar tujuan
fungsionalnya, bukan berdasar pada nilai substansialnya atau sekuensnya
semata.[8] Menurut Ibnu Khaldun, pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan
dipengaruhi oleh peradaban. Terjadinya perbedaan lapisan social dalam
masyarakat akibat dari hasil kecerdasan yang diproses melalui pengajaran. Dalam
proses belajar manusia harus sungguh-sungguh dan memiliki bakat. Dalam mencapai
pengetahuan yang beraneka ragam, seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan,
tapi juga bakat. Seseorang perlu mengembangkan keahliannya dibidang tertentu.
Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok :
1. Ilmu lisan
(bahasa), tata bahasa dan sastra
2. Ilmu naqli,
ilmu yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits, berupa ilmu tafsir, sanad, serta
istinbat tentang kaidah-kaidah fiqh.
3. Ilmu aqli,
ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikir dan kecerdasannya kepada
filsafat dan semua pengetahuan, termasuk ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu
hitung, dan ilmu tingkah laku.
Menurutnya ada tiga
tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
a. Pengembangan
kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa
meneliti, pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan.
Akan tetapi potensi al-malakah tidak bisa demikian oleh setiap orang, kecuali
setelah ia benar-benar memahami dan mendalami suatu disiplin tertentu.
b. Penguasaan
ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi).
Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang
tinggi pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan
kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia di muka bumi.
Pendidikan yang meletakkan ketrampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak
dicapai dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan mengutamakan peradaban
secara keseluruhan.
c. Pembinaan
pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan jenis pembeda antara manusia
dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya di format dan
dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan
potensi-potensi psikologis peserta didik. Melalui pengembangan akal, akan dapat
membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan kerjasama sosial dalam
kehidupannya, guna mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.
D. Implikasi Aliran
Filsafat Pendidikan Islam terhadap Pendidikan
1. Religius Konservatif
Mengenai proses pembelajaran, al-ghazali mengajukan konsep
pengintegrasian antara materi, metode dan media atau alat pengajarannya.
Seluruh komponen tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin, sehingga dapat
menumbuh kembangkan segala potensi fitrah anak, agar nantinya menjadi manusia
yang penuh dengan keutamaan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai
dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, integrasi, maupun minat
dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajaran yang justru merusak
akidah dan akhlaknya. Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada taraf pertama
ialah agama dan syari’at, terutama al-Qur’an. Begitu pula metode/media yang
diterapkan juga harus mendukung; baik secara psikologis, sosiologis, maupun
pragmatis, bagi keberhasilan proses pengajaran. Pendidikan benar-benar
ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dunia bukanlah tujuan utama.
2. Religius
Rasional
Ilmu pengetahuan tidak hanya sebagai sarana mendekatkan diri
kepada Allah, tetapi juga sebagai saran untuk meningkatkan derajat manusia pada
tingkatan yang tinggi, baik dalam lingkungan sosial maupun dalam pandangan
agama.
3. Religius
Pragmatis Instrumental
Dalam pembelajaran, Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara
gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan permasalahan pokok tiap
bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan
dan kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab. Kedua, memilah-milah
antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan,
kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu
kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta
logika yang dibutuhkan oleh filsafat. Pendidikan diupayakan agar peserta didik
benar-benar menguasai suatu bidang ilmu pengetahuan yang memang telah menjadi
bakatnya, yang nantinya dapat meningkatkan kehidupan sosialnya di masyarakat.
[1] Hasan Bisri. Filsafat Pendidikan Islam. 2009. CV.
Pustaka Setia: Bandung. Halm. 223
[2] Abuddin Nata. Filsafat Pendidikan Islam. 2005. Gaya
Media Pratama: Jakarta. Halm. 211
[3] Maragustam Siregar. Mencetak Pembelajar menjadi Insan
Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam). 2010. Nuha Litera: Yogyakarta. Halm. 99
[4] Ahmad Syar’i. Filsafat Pendidikan Islam. 2005. Pustaka
Firdaus: Jakarta. Halm. 101
[5] Abuddin Nata. Filsafat Pendidikan Islam. 2005. Gaya
Media Pratama: Jakarta. Halm. 216
[6] Ibid. Halm. 212
[7] Maragustam Siregar. Mencetak Pembelajar menjadi Insan
Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam). 2010. Nuha Litera: Yogyakarta. Halm. 102
[8] Maragustam Siregar. Mencetak Pembelajar menjadi Insan
Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam). 2010. Nuha Litera: Yogyakarta. Halm. 103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar